Rabu, 24 Juni 2015

makalah tafsir tarbawi pendidikan estetika

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karya seni Islam dalam deretan khazanah pengetahuan tergolong karya cukup langka.
Berbeda dengan manuskrip bidang keislaman lainnya seperti tafsir, teologi, fiqh dan tasawuf, perkembangan estetika Islam, agaknya, jauh tertinggal daripada bidang kajian di atas.
Perhatian kaum muslim terhadap nilai estetika Islam tampaknya juga tidak begitu antusias. Buktinya masyarakat Indonesia, sebagai pemeluk mayoritas Islam, masih minim pengetahuannya terhadap aspek-aspek estetika Islam monumental yang pernah tercipta saat peradaban Islam berkembang spektakuler, baik di kawasan Arabia maupun Timur Tengah, khususnya Persia dan Bagdad.
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dsb.



BAB II
PEMBAHASAN

      A.    Pengertian Pendidikan Estetika
Istilah estetika muncul pertama kali pada pertengahan abad ke -18, melalui seorang filsuf Jerman, Alexander Baumgarten. Sang filsuf memasukkan estetika sebagai ranah pengetahuan sensoris, yaitu pengetahuan rasa yang berbeda dari pengetahuan logika, sebelum akhirnya ia sampai kepada penggunaan istilah tersebut dalam kaitan persepsi atas rasa keindahan, khususnya keindahan karya seni. Selanjutnya, Emmanuel Kant menggunakan istilah tersebut dengan menerapkannya untuk menilai keindahan, baik yang terdapat dalam karya seni maupun dalam alam secara luas.[1]
Estetika berasal dari kata aistheton atau aisthetikos, yang dalam bahasa Yunani Kuno berarti persepsi atau kemampuan mencerap sesuatu secara indrawi. Menurut plato, keindahan adalah realitas yang sebenarnya dan tidak pernah berubah-ubah. Bagi Plato , keindahan itu merupakan pancaran akal ilahi. Bila yang hakikat ilahi itu menyatakan dirinya atau memancarkan sinarnya pada, atau dalam realitas penuh, maka itulah keindahan.
Menurut Kant, keindahan itu merupakan sifat obyek bukan terletak pada subyek.[2]
Estetika adalah nilai-nilai indah dan jeleknya sesuatu. Perasaan estetis disebut pula sebagai perasaan keindahan. Perasaan keindahan ini biasa terungkap dalam seni, namun ada pula yang mengendap dalam diri menjadi cinta tanpa pamrih.
              Selanjutnya, nilai baik sebanding dengan nilai indah, tetapi kata” indah” lebih sering dikenakan pada seni, sedangkan “baik” pada perbuatan. Di dalam kehidupan, indah lebih berpengaruh ketimbang baik. Orang lebih tertarik pada rupa ketimbang pada tingkah laku. Orang yang tingkah lakunya baik(etika), tetapi kurang indah(estetika), akan dipilih belakangan, yang dipilih lebih dulu adalah orang yang indah, sekalipun kurang baik.[3]
Jadi estetika adalah nilai keindahan suatu hal. Sedangkan pendidikan estetika adalah mengajarkan hal-hal yang berupa keindahan dari suatu hal.

       B.     Tafsir Surat Al-A’raf ayat 26
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَىَ ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah sebagai perhiasan. Sedangkan pakaian takwa itulah yang lebih baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Qs. Al-A’raf: 26)
Pada ayat ini disebutkan bahwa Allah menurunkan pula bagi Adam dan anak keturunannya sgala sesuatu yang menjadi kebutuhannya dalam urusan dunia atau agama mereka, seperti pakaian yang digunakan untuk menutup aurat, atau yang digunakan sebagai perhiasan. Juga pakaian yang digunakan mereka dalam perang, seperti baju-baju dan rompi-rompi besi, dan lan sebagainya, maka wajiblah kalian bersyukur kepada Allah Ta’ala atas anugrah besar inidan menyembah kepada-Nya semata-mata tanpa mensyarikatkan sesuatu dengan-Nya.[4]
Allah menyeru kepada anak cucu Adam, dan menyebutkan anugrah-Nya kepada mereka, yakni nikmat yang Dia anugrahkan kepada mereka berupa pakaian yang bermacam-macam tingkat dan kualitasnya, dari sejak pakaian rendah yang digunakan untuk menutup aurat, sampai ke pakaian yang paling tinggi, berupa perhiasan-perhiasan yang menyerupai bulu burung dalam memelihara tubuh dari panas dan dingin, disamping merupakan keindahan dan keelokan. [5]
Menurut Wahbah Al-Zuhaili dalam bukunya tafsir Al-Wasith bahwa penciptaan pakaian dan perhiasan yang mengindikasikan kelapangan rezeki, kemakmuran hidup dan kesejahteraan hidup merupakan tanda-tanda kekuasaan allah yang menunjukkan pada kekuasaan-Nya, karunia-Nya, anugerah-Nya, dan rahmat-Nya bagi hamba-hambanya. Nikma-dian membuat manusia dapat mengingat karunia Allah SWT yang di berikan kepada mereka dan mengantarkan mereka kepada sikap mensyukuri dan mengagungkan yang diberi nikmat, serta menjauhi fitnah setan yang senantiasa berupaya untuk menjerumuskan manusia ke dalam malapetaka dan penyingkapan aurat.[6]
Berlaku tulus kepada yang memberi nikmat dan berterima kasih kepadanya merupakan respons yang sewajarnya bagi setiap kebaikan bagi orang yang melakukannya. Siapa yang berbuat bagi orang lain maka dia layak mendapat ucapan terima kasih dan apresiasi yang selayaknya. Maka dari itu, Allah SWT mengingatkan kepada orang-orang yang beriman pada apa-apa yang dinilai baik bagi diri mereka sendiri dan jangan sampai mereka dipalingkan oleh syetan dari wasiat-wasiat Allah dan syariat serta agamanya.[7]
Fitnah setan adalah mengikuti hawa nafsu dan merendahkan diri sendiri. Dan makna yang dimaksud dalam firman Allah Swt.”Janganlah sampai kamu tertipu oleh syetan, yaitu dengan mencegah diri untuk tidak mendengarkan bisikan syetan dan tidak mematuhi perintahnya, karena setan mempunyai tipu daya dan makar untuk menyesatkan manusia, Adam dan Hawa hingga mengeluarkan keduanya dari surga. Disebabkan penetangan keduanya terhadap perintah Allah lantaran terbujuk oleh setan, maka keduanya pun di usir dari surge dan pakaian terlepas dari kedunya hingga aurat keduanya tersingkap. Yang di maksud pakaian di sini adalah daun-daun surge sedangkalan kata aurat dalam ayat tersebut di ambil dari kata sau’a yang arti dasarnya adalah buruk, namyun disini maksudnya adalah aurat.[8]
Tambahan peringatan dan pemberitahuan bahwa Allah Swt. Menetapkan setan dapat menggangu keturunan Adam. Ini merupakan pemberitahuan dari Allah kepada kita bahwa setan golongannya melihat orang-orang yang beriman, sementara merekatidak dapat melihatnya. Dengan demikian mereka wajib membebaskan diri dari bisikan-bisikannya dengan memperbanyak ketaatan dan qanaah terhadap rezeki Allah serta karunia-Nya. Perlu diketahui bahwa setan memiliki pendukung-pendukung dan pembela-pembela, sementara setan adalah pendukung orang-orang kafir yang tidak beriman kepada Allah Swt dengan keimanan yang sebenarnya yang membuat jiwa mereka menjadi suci membuat amal mereka menjadi baik, disebabkan justru mempersiapkan diri untuk menerima bisikan-bisikan setan, seperti kesiapan orang-orang yang lemah fisiknya untuk menerima penyakit-penyakit yang membahayakan dengan kecepatan yang tinggi dan kebinasaan yang parah.[9]
Ayat ini mengingatkan kita bahwa setan adalah musuh manusia. Dengan demikian kita harus senantiasa mewaspadai berbagai tipu dayanya dan mengingat serta janji setan kepada Allah bahwa kita hanyaberibadah kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya, menyucikan jiwa dengan akhlak yang mulia dan adab yang terpuji, serta memperbaiki diri agar kita dapat mewujudkan kebahagian yang abadi di akhirat, dan juga menunaikan risalah dalam kehidupan ini dengan pelaksanaan yang sesempurna mungkin.[10]
Kesimpulannya adalah bahwa Allah berfirman, hai anak cucu adam, dengan kekuasaan Kami, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu dari langit Kami, untuk mengatur urusan kalian. Pakaian yang menutupi aurat kalian dan perhiasan yang kamu pakai di majlis-majlis dan pertemuan-pertemuan. Yaitu pakaian yang paling tinggi dan sempurna, juga pakaian yang rendah dari itu. Yaitu pakaian yang digunakan untuk memelihara diri dari panas dan dingin.[11]
Adapun maksud diturunkan hal-hal tersebut dari langit ialah diturunkannya bahan berupa kapas, wool bulu sutera, bulu burung dan lainnya. Yang ditimbulkan oleh kebutuhan, dan manusia telah terbiasa memakainya. Setelah mereka mempelajari cara-cara membuatnya, berkat naluri dan sifat yang Allah adakan dalam diri mereka. Dengan naluri dan sifat-sifat tersebut, mereka dapat memintal, menenun, dan merajut semua itu dengan berbagai cara, lalu menjahitnya dengan bentuk yang beragam. Terutama di zaman sekarang pabrik-pabrik telah berkembang pesat dan modern. [12]
Ibnu Katsir menulis dalam buku tafsirnya,” Pakaian untuk menutupi aurat yaitu perkara yang dianggap buruk bila terlihat. Perhiasan ialah perkara untuk keindahan lahiriah. Yang pertama merupakan kebutuhan primer dan yang kedua sebagai kebutuhan sekunder”.[13]
Dalam bukunya, Ibnu Katsir menulis, “Para mufassir berikhtilaf mengenai makna penggalan ini. Akramah berkata bahwa pakaian takwa ialah busana yang dipakai oleh orang-orang takwa pada hari kiamat. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim. Ada pula yang mengartikannya sebagai pakaian keimanan atau sholeh atau tanda kebaikan di wajah. Semua pengertian tersebut hampir sama maknanya.[14]
Dan tidak diragukan lagi, bahwa bila Allah menganugerahkan kepada kita, pakaian dan perhiasan, hal itu merupakan bahwa dalil perhiasan dan keinginan untuk memakainya di bolehkan. Jadi, islam adalah agama fitrah, tidak terdapat padanya sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diperlukan kepada kebutuhan.[15]
Menyukai pakaian adalah termasuk naluri manusia yang paling kuat, yang mendorong mereka untuk menampakkan sunnah-sunnah Allah kepada makhluk-Nya. Pendapat yang paling yang mahsyhur dari para tabi’in ialah yang dimaksud Libasut-taqwa ialah pakaian ma’nawi, bukan pakaian konkrit. Sedang menurut riwayat dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud iman dan amal saleh, karena iman dan amal saleh itu lebih baik dari perhiasan-perhiasan pakaian.[16]
Disamping itu ada riwayat Zaid bin Alibin Al-Husain, bahwa yang dimaksud adalah pakaian perang, seperti baju perang rompi bersih dan alat-alat lain yang digunakan untuk memelihara diri dari serangan musuh.[17]
Jadi hal yang dapat diambil dari ayat ini adalah:
     1.      Pakaian indah sebagai perhiasan diri
     2.      Pakaian yang paling baik adalah pakaian takwa yaitu pakaian yang menutup aurat dan indah
     3.      Miliki lah ahlak yang indah sebagai perhiasan diri

      C.    Tafsir Surat Yusuf ayat 111
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأُِولِي الألْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ 
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Q.S. Yusuf: 111)
Allah Taala berfirman, sesungguhnya, dalam kisah-kisah para rasul bersama kaumnya itu dan bagaimana kami menyelamatkan kaum mukminin dan bagaimana kami membinasakan kaum kafir benar-benar “terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Ia bukanlah pembicaraan yang di ada-adakan.” Al-Qur’an ini bukanlah kitab yang dibuat-buat dan diada-adakan. Namun, membenarkan apa yang ada sebelumnya,” yaitu membenarkan kitab-kitab sanawi yang shahih serta meniadakan penyimpangan dan pengubahan yang terdapat di dalamnya. “menjelaskan segala sesuatu,” berupa perintah dan larangan yang menyangkut akidah, ibadah dan muamalah, berita tentang umat-umat yang telah lalu, dan pengambilan pelajaran dari berita itu berupa bantuan kepada para rasul atau permusuhan kaum kafir kepada para rasul serta hasil yang diperoleh dari bantuan itu. Oleh karena itu Al-quran merupakan “petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” Al-quran digunakan untuk menunjukkan hati mereka dari kesesatan kepada petunjuk, digunakn untuk memperoleh rahmat dari tuhan segala hamba dalam kehidupan dunia ini dan pada hari akhir.[18]
Maka, kita memohon kepada Allah Yang Maha Agung kiranya Dia menjadikan kita termasuk ke dalam golongan mereka di dunia dan di akhirat, yaitu pada saat memperoleh keberuntungan, ketika wajah berseri-seri, dan saat wajah yang hitam muram berakhir dalam kerugian dan kehampaan.[19]
Qassa al-khabara berarti ‘menyampaikan berita dalam bentuk yang sebenarnya. Kata ini di ambil dari perkataan qasa al-asara wal iqtasahu yang berarti menuturkan secara lengkapbdan benar-benar mengetahuinya.[20]
Dalam kisah Yusuf as. Beserta orangtua dan saudara-saudaranya, terdapat pelajaran dari orang-orang yang berakal dan berfikir tajam, karena merekalah orang-orang yang mengambil pelajaran dari perkara yang ditunjukkan kepada pendahulunya, sedang orang-orang yang terperdaya dan lengah, tidak menggunakan akalnya untuk mencari dalil-dalil, sehingga nasehat-nasehat tidak berguna bagi mereka.[21]
Letak pengambilan dari kisah ini ialah: Allah telah kuasa untuk menyelamatkan Yusuf yang setelah dijatuhkan ke dalam sumur, mengangkatv kedudukannya setelah dipenjarakan, menjadikannya berkuasa di Mesir setelah di jual dengan harga yang sangat murah, mengokohkan kedudukannya di muka bumi setelah ditawan. Memenangkannya atas saudara-saudara yang berbuat jahat terhadapnya, menyatukan kekuatannya dengan mengumpulkan kedua orangtua dan saudara-saudaranya setelah perpisahan yang yang sekian lama, mendatangkan mereka dari belahan bumi yang sangat jauh. Sesungguhnya, Allah yang yang telah kuasa untuk melakukan semua itu terhadap Yusuf, kuasa pula untuk menjayakan Muhammad saw, meninggikan kalimat-Nya, dan menampakkan agamanya. Maka, Dia mengeluarkan di tengah-tengah kalian, kemudian memenangkannya atas kalian, mengokohnya ke dalam negeri, dan menguatkannya dengan balatentara, dan para pembesar, pengikut serta penolong, meski dia melalui rintangan dan peristiwa berat.[22]
Kisah ini bukan cerita yang di buat-buat, karena dia termasuk pembawa cerita dan berita yang paling lemah. Dia termasuk orang yang tidak pernahmenelaah kitab dan tidak pernah bergaul dengan orang-orang alim. Hal ini merupakan dalil yang nyata dan keterngan yang kuat, bahwa al-qu’an dating melalui wahyu. Oleh sebab itu, Allah berfirman. Akan tetapi al-qur’an ini membenarkan apa yang ada sisinya”, yakni membenarkan kitab samawi yang diturunkan Allah sebelumnya kepada para nabi, seperti taurad, injil, dan zabur. Dengan kata lain, al-qur’an membenarkan kebenaran yang ada pada mereka yang ada di dalam kitab-kitab itu, tudak setiap yang ada pada mereka. Ia tidak membenarkan apa yang ada pada mereka berupa kurafat yang rusak dan angan-angan kosong yang batil, karena ia dating untuk menghapus dan melenyapkannya, tidak untuk menetap dan membenarkanya.[23]
Menjelaskan segala hal berupa perintah dan lrangan Allah serta janji dan ancaman-Nya. Kemudian, menerangkan perkara yang wajib bagi Allah ta’ala, yaitu sifat-sifat kesempurnaan dan kesucian-Nya dari sifat-sifat kekurangan. Di dalamnya juga terdapat kisah-kisah para nabi bersama kaum mereka, yang di dalamnya terdapat pelajaran, peringatan dan segala hal yang dibutuhkan oleh hamba.[24]
Pendek kata di dalam al-quran terdapat penjelasan tentang segala hal yang dibutuhkan di dalam perkara agama. Penjelasan ini disajikan secara panjang lebar atau ringkas, sesuai dengan tempatnya. Maka, kebenaran dalam akidah dijabarkan dengan menggunakan berbagai hujjah dan dalil, kemudian kebenaran dalam hal keutamaan, adab, pokok syariat dan dasar hukum, dijelaskan dengan keterangan yang dapat memperbaiki urusan manusia dan kemasyrakatan.[25]
Kita memohon kepada Allah Yang Maha Agung , semoga menjadikan kita termasuk golongan mereka di dunia dan akhirat.mebgumpulkan shuhada’, dan orang-orang yang saleh, pada hari ketika wajah orang-orang kafir menjadi hitam dan wajah orang-orang mukmin menjadi putih, dan menjadikan kesudahan kami menjadi kesudahan yang baik di dunia dan di akhirat, sebagaimana telah menjadikan baik kesudahan Yusuf beserta orangtua dan saudara-saudaranya.[26]
Hal yang dapat dipetik dari ayat ini adalah:
    1.      Pengajaran Allah hanya bisa didapatkan bagi orang-orang yang menggunakan akal dan pikirannya.
    2.      Kita bisa mengambil semua pengajaran atau pendidikan dari kisah-kisah nabi terdahulu.

      D.    Tafsir Surat As-Sajdah ayat 12
وَلَوْ تَرَىٰ إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ
Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): "Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin". (Q.S. As-Sajdah: 12)
Sesudah Allah menetapkan hari berbangkit, yaitu hari semua makhluk dikembalikan kepada-Nya, lalu Dia menjelaskan tentang keadaan orang-orang musyrik disaat mereka menyaksikan azab dan di waktu mereka berdiri dihadapan Allah, dalam keadaan seraya menundukkan kepalanya karena malu dan seraya meminta agar dikembalikan lagi kedunia untuk memperbaiki perbuatan mereka. Kemudian Allah menjelaskan, bahwasanya tiada jalan untuk kembali ke dunia. Karena sesungguhnya seandainya mereka dikembalikan ke dunia, niscaya mereka akan kembali mengulanggi hal-hal yang mereka cegah untuk melakukannya.[27]
Allah ta’ala memberitahukan kondisi kaum musyrik pada hari kiamat dan ucapan mereka pada saat melihat ba’ats dengan nyata, sedang mereka berdiri di hadapan Allah Azza wa jalla dalam keadaan terhina, rendah dan menundukkan kepalanya karena malu. Pada saat itu mereka berkata, “ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar.”Yakni, sekarang kami barulah mendengar dan menaati perintah-Mu. Demikianlah pula mereka mencela diri mereka sendiri saat memasuki neraka dengan mengatakan,”Andaikan dulu kami mendengardan memahami, niscaya kami tidak menjadi penghuni neraka.”Sedang saat dihadapan Allah mereka berkata.” Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami” ke negeri dunia, maka kami akan mengerjakan amal saleh. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin.” Kami benar-benar yakin bahwa janjimuadalah hak dan pertemuaan dengan kamu juga hak. Allah mengetahui bahwa dia mengembalikan mereka ke dunia, niscaya mereka menjadi kaum kafir yang mendustakan ayat-ayat Allah dan menyalahi para rasul-Nya.” Dan kalau kami menghendaki niscaya kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk. Namun, telah tetaplah perkataan dari Ku” Sesungguhnya akan aku penuhi neraka jahanam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.” Jika kami berkehendak, niscaya kami paksa setiap diri supaya mendapat petunjuk, karena perintah kami, kepada kebaikan. Sesungguhnya kami berkuasa untuk berbuat demikian. Namun, keputusan kami telah di ucapkan bahwa setiap individu harus memilih jalannya sendiri yang menuju kepada kebaikan maupun keburukan. Sebab mereka telah diberi tahu tentang kejadian akhir orang-orang yang menaati perintah-Ku dan orang-orang yang mendurhakai-Nya, baik dari golongan jin maupun manusia. Barang siapa diantara mereka yang durhaka, maka akan memenuhi jahanam. Adapun orang-orang yang taat dan mengikuti jalan keselamatan, maka kami akan menempatkan mereka di Darussalam dan dalam kenikmatan yang abadi.[28]
Kesimpulan yang dapat diambil dari ayat ini adalah:
    1.      Al-quran itu indah karena di dalamnya berisi peringatan-peringatan tentang hal-hal yang akan terjadi pada manusia nantinya.
     2.      Sebagai manusia sebaiknya kita harus menundukkan kepala jika ingin meminta atau memohon sesuatu.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah:
     1.      Pakaian yang paling baik adalah pakaian takwa yaitu pakaian yang menutup aurat dan indah
     2.      Pengajaran Allah hanya bisa didapatkan bagi orang-orang yang menggunakan akal dan pikirannya
   3.      Al-quran itu indah karena di dalamnya berisi peringatan-peringatan tentang hal-hal yang akan terjadi pada manusia nantinya



DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Mustofa. 1986. Tafsir Al-Maraghi, jilid 8, Semarang: CV Toha Putra Semarang.
Al-Maraghi, Ahmad Mustofa. 1986. Tafsir Al-Maraghi, jilid 13, Semarang: CV Toha Putra Semarang
Al-Maraghi, Ahmad Mustofa, 1986. Tafsir Al-Maraghi, jilid 21, Semarang: CV Toha Putra Semarang
Az-Zuhaili, Wahbah. 2012. Tafsir Al-Wasith. Jakarta: Gema Insani
Nasib ar-Rofa’i, Muhammad. 1410/1989 Masehi. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2. Riyadh: Maktabah Ma’arif.
Nasib ar-Rofa’i, Muhammad. 1410/1989 Masehi. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3. Riyadh: Maktabah Ma’arif
Praja, Juhaya S. 1997. Aliran-aliran Filsafat Dan Etika. Bandung: Yayasan Piara.
Sjarkawi. 2006. Pembentukan Kepribadian Anak,Cet I. Jakarta: PT Bumu Aksar.
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.



[1] Sjarkawi,Pembentukan Kepribadian Anak,Cet I(Jakarta:PT Bumu Aksar,2006)hlm 33
[2] Juhaya S.Praja,Aliran-aliran Filsafat Dan Etika, (Bandung:Yayasan Piara,1997) hlm 48
[3] Ahmad tafsir,Filsafat Umum(Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2004)hal.40
[4] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid 8, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 221
[5] Ibid
[6] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Wasith, (Jakarta: Gema Insani, 2012) hal. 559
[7] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Wasith, (Jakarta: Gema Insani, 2012) hal. 559
[8] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Wasith, (Jakarta: Gema Insani, 2012) hal. 560
[9] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Wasith, (Jakarta: Gema Insani, 2012) hal. 560
[10] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Wasith, (Jakarta: Gema Insani, 2012) hal. 560
[11] Ibid
[12] Ibid, hal. 222
[13] Nasib ar-Rofa’i, Muhammad. 1410/1989 Masehi. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2. Riyadh: Maktabah Ma’arif. Hal. 248
[14] Nasib ar-Rofa’i, Muhammad. 1410/1989 Masehi. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2. Riyadh: Maktabah Ma’arif. Hal. 249
[15] Ibid, hal. 222
[16] Ibid, hal. 222
[17] Ibid, hal. 222
[18] Nasib ar-Rofa’i, Muhammad. 1410/1989 Masehi. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2. Riyadh: Maktabah Ma’arif. Hal. 634
[19] Nasib ar-Rofa’i, Muhammad. 1410/1989 Masehi. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2. Riyadh: Maktabah Ma’arif. Hal. 634
[20] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid 13, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 100
[21] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid 13, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 101
[22] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid 13, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 101
[23] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid 13, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 101
[24] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid 13, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 102
[25] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid 13, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 102
[26] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid 13, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 102
[27] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid 21, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 205-206
[28] Nasib ar-Rofa’i, Muhammad. 1410/1989 Masehi. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3. Riyadh: Maktabah Ma’arif.Hal.814-815

Tidak ada komentar:

Posting Komentar