BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karya seni Islam dalam deretan
khazanah pengetahuan tergolong karya cukup langka.
Berbeda dengan manuskrip
bidang keislaman lainnya seperti tafsir, teologi, fiqh dan tasawuf,
perkembangan estetika Islam, agaknya, jauh tertinggal daripada bidang kajian di
atas.
Perhatian kaum muslim terhadap nilai
estetika Islam tampaknya juga tidak begitu antusias. Buktinya masyarakat
Indonesia, sebagai pemeluk mayoritas Islam, masih minim pengetahuannya terhadap
aspek-aspek estetika Islam monumental yang pernah tercipta saat peradaban Islam
berkembang spektakuler, baik di kawasan Arabia maupun Timur Tengah, khususnya
Persia dan Bagdad.
Estetika merupakan nilai-nilai yang
berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan
dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat
dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dsb.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Estetika
Istilah estetika muncul
pertama kali pada pertengahan abad ke -18, melalui seorang filsuf Jerman,
Alexander Baumgarten. Sang filsuf memasukkan estetika sebagai ranah pengetahuan
sensoris, yaitu pengetahuan rasa yang berbeda dari pengetahuan logika, sebelum
akhirnya ia sampai kepada penggunaan istilah tersebut dalam kaitan persepsi
atas rasa keindahan, khususnya keindahan karya seni. Selanjutnya, Emmanuel Kant
menggunakan istilah tersebut dengan menerapkannya untuk menilai keindahan, baik
yang terdapat dalam karya seni maupun dalam alam secara luas.[1]
Estetika berasal dari
kata aistheton atau aisthetikos, yang dalam bahasa Yunani Kuno berarti persepsi
atau kemampuan mencerap sesuatu secara indrawi. Menurut plato, keindahan adalah
realitas yang sebenarnya dan tidak pernah berubah-ubah. Bagi Plato , keindahan
itu merupakan pancaran akal ilahi. Bila yang hakikat ilahi itu menyatakan
dirinya atau memancarkan sinarnya pada, atau dalam realitas penuh, maka itulah
keindahan.
Menurut Kant, keindahan
itu merupakan sifat obyek bukan terletak pada subyek.[2]
Estetika adalah nilai-nilai indah dan
jeleknya sesuatu. Perasaan estetis disebut pula sebagai perasaan keindahan.
Perasaan keindahan ini biasa terungkap dalam seni, namun ada pula yang
mengendap dalam diri menjadi cinta tanpa pamrih.
Selanjutnya,
nilai baik sebanding dengan nilai indah, tetapi kata” indah” lebih sering
dikenakan pada seni, sedangkan “baik” pada perbuatan. Di dalam kehidupan, indah
lebih berpengaruh ketimbang baik. Orang lebih tertarik pada rupa ketimbang pada
tingkah laku. Orang yang tingkah lakunya baik(etika), tetapi kurang
indah(estetika), akan dipilih belakangan, yang dipilih lebih dulu adalah orang
yang indah, sekalipun kurang baik.[3]
Jadi estetika adalah nilai
keindahan suatu hal. Sedangkan pendidikan estetika adalah mengajarkan hal-hal
yang berupa keindahan dari suatu hal.
B. Tafsir Surat Al-A’raf ayat 26
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي
سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَىَ ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ
اللّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Wahai
anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi auratmu
dan pakaian indah sebagai perhiasan. Sedangkan pakaian takwa itulah yang lebih
baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah,
mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Qs. Al-A’raf: 26)
Pada ayat ini
disebutkan bahwa Allah menurunkan pula bagi Adam dan anak keturunannya sgala
sesuatu yang menjadi kebutuhannya dalam urusan dunia atau agama mereka, seperti
pakaian yang digunakan untuk menutup aurat, atau yang digunakan sebagai
perhiasan. Juga pakaian yang digunakan mereka dalam perang, seperti baju-baju
dan rompi-rompi besi, dan lan sebagainya, maka wajiblah kalian bersyukur kepada
Allah Ta’ala atas anugrah besar inidan menyembah kepada-Nya semata-mata tanpa
mensyarikatkan sesuatu dengan-Nya.[4]
Allah menyeru kepada
anak cucu Adam, dan menyebutkan anugrah-Nya kepada mereka, yakni nikmat yang
Dia anugrahkan kepada mereka berupa pakaian yang bermacam-macam tingkat dan
kualitasnya, dari sejak pakaian rendah yang digunakan untuk menutup aurat,
sampai ke pakaian yang paling tinggi, berupa perhiasan-perhiasan yang
menyerupai bulu burung dalam memelihara tubuh dari panas dan dingin, disamping
merupakan keindahan dan keelokan. [5]
Menurut Wahbah
Al-Zuhaili dalam bukunya tafsir Al-Wasith bahwa penciptaan pakaian dan perhiasan
yang mengindikasikan kelapangan rezeki, kemakmuran hidup dan kesejahteraan
hidup merupakan tanda-tanda kekuasaan allah yang menunjukkan pada
kekuasaan-Nya, karunia-Nya, anugerah-Nya, dan rahmat-Nya bagi hamba-hambanya.
Nikma-dian membuat manusia dapat mengingat karunia Allah SWT yang di berikan
kepada mereka dan mengantarkan mereka kepada sikap mensyukuri dan mengagungkan
yang diberi nikmat, serta menjauhi fitnah setan yang senantiasa berupaya untuk
menjerumuskan manusia ke dalam malapetaka dan penyingkapan aurat.[6]
Berlaku tulus kepada
yang memberi nikmat dan berterima kasih kepadanya merupakan respons yang
sewajarnya bagi setiap kebaikan bagi orang yang melakukannya. Siapa yang
berbuat bagi orang lain maka dia layak mendapat ucapan terima kasih dan apresiasi
yang selayaknya. Maka dari itu, Allah SWT mengingatkan kepada orang-orang yang
beriman pada apa-apa yang dinilai baik bagi diri mereka sendiri dan jangan
sampai mereka dipalingkan oleh syetan dari wasiat-wasiat Allah dan syariat
serta agamanya.[7]
Fitnah setan adalah
mengikuti hawa nafsu dan merendahkan diri sendiri. Dan makna yang dimaksud
dalam firman Allah Swt.”Janganlah sampai
kamu tertipu oleh syetan, yaitu dengan mencegah diri untuk tidak
mendengarkan bisikan syetan dan tidak mematuhi perintahnya, karena setan
mempunyai tipu daya dan makar untuk menyesatkan manusia, Adam dan Hawa hingga
mengeluarkan keduanya dari surga. Disebabkan penetangan keduanya terhadap
perintah Allah lantaran terbujuk oleh setan, maka keduanya pun di usir dari
surge dan pakaian terlepas dari kedunya hingga aurat keduanya tersingkap. Yang
di maksud pakaian di sini adalah daun-daun surge sedangkalan kata aurat dalam
ayat tersebut di ambil dari kata sau’a yang arti dasarnya adalah buruk, namyun
disini maksudnya adalah aurat.[8]
Tambahan peringatan dan
pemberitahuan bahwa Allah Swt. Menetapkan setan dapat menggangu keturunan Adam.
Ini merupakan pemberitahuan dari Allah kepada kita bahwa setan golongannya
melihat orang-orang yang beriman, sementara merekatidak dapat melihatnya. Dengan
demikian mereka wajib membebaskan diri dari bisikan-bisikannya dengan
memperbanyak ketaatan dan qanaah terhadap rezeki Allah serta karunia-Nya. Perlu
diketahui bahwa setan memiliki pendukung-pendukung dan pembela-pembela,
sementara setan adalah pendukung orang-orang kafir yang tidak beriman kepada
Allah Swt dengan keimanan yang sebenarnya yang membuat jiwa mereka menjadi suci
membuat amal mereka menjadi baik, disebabkan justru mempersiapkan diri untuk
menerima bisikan-bisikan setan, seperti kesiapan orang-orang yang lemah
fisiknya untuk menerima penyakit-penyakit yang membahayakan dengan kecepatan
yang tinggi dan kebinasaan yang parah.[9]
Ayat ini mengingatkan
kita bahwa setan adalah musuh manusia. Dengan demikian kita harus senantiasa
mewaspadai berbagai tipu dayanya dan mengingat serta janji setan kepada Allah
bahwa kita hanyaberibadah kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya, menyucikan jiwa
dengan akhlak yang mulia dan adab yang terpuji, serta memperbaiki diri agar
kita dapat mewujudkan kebahagian yang abadi di akhirat, dan juga menunaikan
risalah dalam kehidupan ini dengan pelaksanaan yang sesempurna mungkin.[10]
Kesimpulannya adalah
bahwa Allah berfirman, hai anak cucu adam, dengan kekuasaan Kami, sesungguhnya
kami telah menurunkan kepadamu dari langit Kami, untuk mengatur urusan kalian.
Pakaian yang menutupi aurat kalian dan perhiasan yang kamu pakai di
majlis-majlis dan pertemuan-pertemuan. Yaitu pakaian yang paling tinggi dan
sempurna, juga pakaian yang rendah dari itu. Yaitu pakaian yang digunakan untuk
memelihara diri dari panas dan dingin.[11]
Adapun maksud
diturunkan hal-hal tersebut dari langit ialah diturunkannya bahan berupa kapas,
wool bulu sutera, bulu burung dan lainnya. Yang ditimbulkan oleh kebutuhan, dan
manusia telah terbiasa memakainya. Setelah mereka mempelajari cara-cara
membuatnya, berkat naluri dan sifat yang Allah adakan dalam diri mereka. Dengan
naluri dan sifat-sifat tersebut, mereka dapat memintal, menenun, dan merajut
semua itu dengan berbagai cara, lalu menjahitnya dengan bentuk yang beragam.
Terutama di zaman sekarang pabrik-pabrik telah berkembang pesat dan modern. [12]
Ibnu
Katsir menulis dalam buku tafsirnya,” Pakaian untuk menutupi aurat yaitu
perkara yang dianggap buruk bila terlihat. Perhiasan ialah perkara untuk
keindahan lahiriah. Yang pertama merupakan kebutuhan primer dan yang kedua
sebagai kebutuhan sekunder”.[13]
Dalam
bukunya, Ibnu Katsir menulis, “Para mufassir berikhtilaf mengenai makna
penggalan ini. Akramah berkata bahwa pakaian takwa ialah busana yang dipakai
oleh orang-orang takwa pada hari kiamat. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim. Ada pula yang mengartikannya sebagai pakaian keimanan atau sholeh atau
tanda kebaikan di wajah. Semua pengertian tersebut hampir sama maknanya.[14]
Dan tidak diragukan
lagi, bahwa bila Allah menganugerahkan kepada kita, pakaian dan perhiasan, hal
itu merupakan bahwa dalil perhiasan dan keinginan untuk memakainya di bolehkan.
Jadi, islam adalah agama fitrah, tidak terdapat padanya sesuatu yang
bertentangan dengan apa yang diperlukan kepada kebutuhan.[15]
Menyukai pakaian adalah
termasuk naluri manusia yang paling kuat, yang mendorong mereka untuk
menampakkan sunnah-sunnah Allah kepada makhluk-Nya. Pendapat yang paling yang
mahsyhur dari para tabi’in ialah yang dimaksud Libasut-taqwa ialah pakaian ma’nawi, bukan pakaian konkrit. Sedang
menurut riwayat dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud iman dan amal saleh, karena
iman dan amal saleh itu lebih baik dari perhiasan-perhiasan pakaian.[16]
Disamping itu ada
riwayat Zaid bin Alibin Al-Husain, bahwa yang dimaksud adalah pakaian perang,
seperti baju perang rompi bersih dan alat-alat lain yang digunakan untuk
memelihara diri dari serangan musuh.[17]
Jadi hal yang dapat
diambil dari ayat ini adalah:
1.
Pakaian indah
sebagai perhiasan diri
2.
Pakaian yang
paling baik adalah pakaian takwa yaitu pakaian yang menutup aurat dan indah
3.
Miliki lah ahlak
yang indah sebagai perhiasan diri
C.
Tafsir
Surat Yusuf ayat 111
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأُِولِي الألْبَابِ مَا
كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ
كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu
terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al quran itu bukanlah
cerita yang dibuat-buat akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya
dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman. (Q.S. Yusuf: 111)
Allah Taala berfirman,
sesungguhnya, dalam kisah-kisah para rasul bersama kaumnya itu dan bagaimana
kami menyelamatkan kaum mukminin dan bagaimana kami membinasakan kaum kafir
benar-benar “terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Ia
bukanlah pembicaraan yang di ada-adakan.” Al-Qur’an ini bukanlah kitab yang
dibuat-buat dan diada-adakan. Namun, membenarkan apa yang ada sebelumnya,”
yaitu membenarkan kitab-kitab sanawi yang shahih serta meniadakan penyimpangan
dan pengubahan yang terdapat di dalamnya. “menjelaskan segala sesuatu,” berupa
perintah dan larangan yang menyangkut akidah, ibadah dan muamalah, berita tentang
umat-umat yang telah lalu, dan pengambilan pelajaran dari berita itu berupa
bantuan kepada para rasul atau permusuhan kaum kafir kepada para rasul serta
hasil yang diperoleh dari bantuan itu. Oleh karena itu Al-quran merupakan
“petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” Al-quran digunakan untuk
menunjukkan hati mereka dari kesesatan kepada petunjuk, digunakn untuk
memperoleh rahmat dari tuhan segala hamba dalam kehidupan dunia ini dan pada
hari akhir.[18]
Maka, kita memohon
kepada Allah Yang Maha Agung kiranya Dia menjadikan kita termasuk ke dalam
golongan mereka di dunia dan di akhirat, yaitu pada saat memperoleh
keberuntungan, ketika wajah berseri-seri, dan saat wajah yang hitam muram
berakhir dalam kerugian dan kehampaan.[19]
Qassa al-khabara
berarti ‘menyampaikan berita dalam bentuk yang sebenarnya. Kata ini di ambil
dari perkataan qasa al-asara wal iqtasahu
yang berarti menuturkan secara lengkapbdan benar-benar mengetahuinya.[20]
Dalam kisah Yusuf as.
Beserta orangtua dan saudara-saudaranya, terdapat pelajaran dari orang-orang
yang berakal dan berfikir tajam, karena merekalah orang-orang yang mengambil
pelajaran dari perkara yang ditunjukkan kepada pendahulunya, sedang orang-orang
yang terperdaya dan lengah, tidak menggunakan akalnya untuk mencari
dalil-dalil, sehingga nasehat-nasehat tidak berguna bagi mereka.[21]
Letak pengambilan dari
kisah ini ialah: Allah telah kuasa untuk menyelamatkan Yusuf yang setelah
dijatuhkan ke dalam sumur, mengangkatv kedudukannya setelah dipenjarakan, menjadikannya
berkuasa di Mesir setelah di jual dengan harga yang sangat murah, mengokohkan
kedudukannya di muka bumi setelah ditawan. Memenangkannya atas saudara-saudara
yang berbuat jahat terhadapnya, menyatukan kekuatannya dengan mengumpulkan
kedua orangtua dan saudara-saudaranya setelah perpisahan yang yang sekian lama,
mendatangkan mereka dari belahan bumi yang sangat jauh. Sesungguhnya, Allah
yang yang telah kuasa untuk melakukan semua itu terhadap Yusuf, kuasa pula
untuk menjayakan Muhammad saw, meninggikan kalimat-Nya, dan menampakkan
agamanya. Maka, Dia mengeluarkan di tengah-tengah kalian, kemudian
memenangkannya atas kalian, mengokohnya ke dalam negeri, dan menguatkannya
dengan balatentara, dan para pembesar, pengikut serta penolong, meski dia melalui
rintangan dan peristiwa berat.[22]
Kisah ini bukan cerita
yang di buat-buat, karena dia termasuk pembawa cerita dan berita yang paling
lemah. Dia termasuk orang yang tidak pernahmenelaah kitab dan tidak pernah
bergaul dengan orang-orang alim. Hal ini merupakan dalil yang nyata dan
keterngan yang kuat, bahwa al-qu’an dating melalui wahyu. Oleh sebab itu, Allah
berfirman. Akan tetapi al-qur’an ini membenarkan apa yang ada sisinya”, yakni
membenarkan kitab samawi yang diturunkan Allah sebelumnya kepada para nabi,
seperti taurad, injil, dan zabur. Dengan kata lain, al-qur’an membenarkan
kebenaran yang ada pada mereka yang ada di dalam kitab-kitab itu, tudak setiap
yang ada pada mereka. Ia tidak membenarkan apa yang ada pada mereka berupa kurafat yang rusak dan angan-angan
kosong yang batil, karena ia dating untuk menghapus dan melenyapkannya, tidak
untuk menetap dan membenarkanya.[23]
Menjelaskan segala hal
berupa perintah dan lrangan Allah serta janji dan ancaman-Nya. Kemudian,
menerangkan perkara yang wajib bagi Allah ta’ala, yaitu sifat-sifat
kesempurnaan dan kesucian-Nya dari sifat-sifat kekurangan. Di dalamnya juga
terdapat kisah-kisah para nabi bersama kaum mereka, yang di dalamnya terdapat
pelajaran, peringatan dan segala hal yang dibutuhkan oleh hamba.[24]
Pendek kata di dalam
al-quran terdapat penjelasan tentang segala hal yang dibutuhkan di dalam
perkara agama. Penjelasan ini disajikan secara panjang lebar atau ringkas,
sesuai dengan tempatnya. Maka, kebenaran dalam akidah dijabarkan dengan
menggunakan berbagai hujjah dan dalil, kemudian kebenaran dalam hal keutamaan,
adab, pokok syariat dan dasar hukum, dijelaskan dengan keterangan yang dapat
memperbaiki urusan manusia dan kemasyrakatan.[25]
Kita memohon kepada
Allah Yang Maha Agung , semoga menjadikan kita termasuk golongan mereka di
dunia dan akhirat.mebgumpulkan shuhada’, dan
orang-orang yang saleh, pada hari ketika wajah orang-orang kafir menjadi hitam
dan wajah orang-orang mukmin menjadi putih, dan menjadikan kesudahan kami
menjadi kesudahan yang baik di dunia dan di akhirat, sebagaimana telah
menjadikan baik kesudahan Yusuf beserta orangtua dan saudara-saudaranya.[26]
Hal yang dapat dipetik
dari ayat ini adalah:
1.
Pengajaran Allah
hanya bisa didapatkan bagi orang-orang yang menggunakan akal dan pikirannya.
2.
Kita bisa
mengambil semua pengajaran atau pendidikan dari kisah-kisah nabi terdahulu.
D. Tafsir Surat As-Sajdah ayat 12
وَلَوْ تَرَىٰ إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ
رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا
مُوقِنُونَ
Dan
(alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang
berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata):
"Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami
(ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang yakin". (Q.S. As-Sajdah: 12)
Sesudah Allah
menetapkan hari berbangkit, yaitu hari semua makhluk dikembalikan kepada-Nya,
lalu Dia menjelaskan tentang keadaan orang-orang musyrik disaat mereka
menyaksikan azab dan di waktu mereka berdiri dihadapan Allah, dalam keadaan
seraya menundukkan kepalanya karena malu dan seraya meminta agar dikembalikan
lagi kedunia untuk memperbaiki perbuatan mereka. Kemudian Allah menjelaskan,
bahwasanya tiada jalan untuk kembali ke dunia. Karena sesungguhnya seandainya
mereka dikembalikan ke dunia, niscaya mereka akan kembali mengulanggi hal-hal
yang mereka cegah untuk melakukannya.[27]
Allah
ta’ala memberitahukan kondisi kaum musyrik pada hari kiamat dan ucapan mereka
pada saat melihat ba’ats dengan nyata, sedang mereka berdiri di hadapan Allah
Azza wa jalla dalam keadaan terhina, rendah dan menundukkan kepalanya karena
malu. Pada saat itu mereka berkata, “ya Tuhan kami, kami telah melihat dan
mendengar.”Yakni, sekarang kami barulah mendengar dan menaati perintah-Mu.
Demikianlah pula mereka mencela diri mereka sendiri saat memasuki neraka dengan
mengatakan,”Andaikan dulu kami mendengardan memahami, niscaya kami tidak
menjadi penghuni neraka.”Sedang saat dihadapan Allah mereka berkata.” Ya Tuhan
kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami” ke negeri
dunia, maka kami akan mengerjakan amal saleh. Sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang yakin.” Kami benar-benar yakin bahwa janjimuadalah hak dan
pertemuaan dengan kamu juga hak. Allah mengetahui bahwa dia mengembalikan
mereka ke dunia, niscaya mereka menjadi kaum kafir yang mendustakan ayat-ayat
Allah dan menyalahi para rasul-Nya.” Dan kalau kami menghendaki niscaya kami
akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk. Namun, telah tetaplah perkataan
dari Ku” Sesungguhnya akan aku penuhi neraka jahanam itu dengan jin dan manusia
bersama-sama.” Jika kami berkehendak, niscaya kami paksa setiap diri supaya
mendapat petunjuk, karena perintah kami, kepada kebaikan. Sesungguhnya kami
berkuasa untuk berbuat demikian. Namun, keputusan kami telah di ucapkan bahwa setiap
individu harus memilih jalannya sendiri yang menuju kepada kebaikan maupun
keburukan. Sebab mereka telah diberi tahu tentang kejadian akhir orang-orang
yang menaati perintah-Ku dan orang-orang yang mendurhakai-Nya, baik dari
golongan jin maupun manusia. Barang siapa diantara mereka yang durhaka, maka
akan memenuhi jahanam. Adapun orang-orang yang taat dan mengikuti jalan
keselamatan, maka kami akan menempatkan mereka di Darussalam dan dalam
kenikmatan yang abadi.[28]
Kesimpulan
yang dapat diambil dari ayat ini adalah:
1.
Al-quran itu
indah karena di dalamnya berisi peringatan-peringatan tentang hal-hal yang akan
terjadi pada manusia nantinya.
2.
Sebagai manusia
sebaiknya kita harus menundukkan kepala jika ingin meminta atau memohon
sesuatu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
kesimpulan yang
dapat diambil dari makalah ini adalah:
1.
Pakaian yang
paling baik adalah pakaian takwa yaitu pakaian yang menutup aurat dan indah
2. Pengajaran
Allah hanya bisa didapatkan bagi orang-orang yang menggunakan akal dan
pikirannya
3. Al-quran
itu indah karena di dalamnya berisi peringatan-peringatan tentang hal-hal yang
akan terjadi pada manusia nantinya
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mustofa. 1986. Tafsir
Al-Maraghi, jilid 8, Semarang: CV Toha Putra Semarang.
Al-Maraghi, Ahmad Mustofa. 1986. Tafsir
Al-Maraghi, jilid 13, Semarang: CV Toha Putra Semarang
Al-Maraghi, Ahmad Mustofa, 1986. Tafsir
Al-Maraghi, jilid 21, Semarang: CV Toha Putra Semarang
Az-Zuhaili, Wahbah. 2012. Tafsir
Al-Wasith. Jakarta: Gema Insani
Nasib ar-Rofa’i, Muhammad.
1410/1989 Masehi. Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2. Riyadh:
Maktabah Ma’arif.
Nasib
ar-Rofa’i, Muhammad. 1410/1989 Masehi. Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3. Riyadh:
Maktabah Ma’arif
Praja, Juhaya S. 1997. Aliran-aliran
Filsafat Dan Etika. Bandung: Yayasan Piara.
Sjarkawi. 2006. Pembentukan
Kepribadian Anak,Cet I. Jakarta: PT Bumu Aksar.
Tafsir, Ahmad. 2004.
Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
[4] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, jilid 8, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 221
[5] Ibid
[6] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir
Al-Wasith, (Jakarta: Gema Insani, 2012) hal. 559
[7] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir
Al-Wasith, (Jakarta: Gema Insani, 2012) hal. 559
[9] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir
Al-Wasith, (Jakarta: Gema Insani, 2012) hal. 560
[10] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir
Al-Wasith, (Jakarta: Gema Insani, 2012) hal. 560
[11] Ibid
[12] Ibid, hal. 222
[13] Nasib
ar-Rofa’i, Muhammad. 1410/1989 Masehi. Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2. Riyadh: Maktabah Ma’arif. Hal. 248
[14] Nasib
ar-Rofa’i, Muhammad. 1410/1989 Masehi. Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2. Riyadh: Maktabah Ma’arif. Hal. 249
[15] Ibid, hal. 222
[16] Ibid, hal. 222
[18] Nasib
ar-Rofa’i, Muhammad. 1410/1989 Masehi. Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2. Riyadh: Maktabah Ma’arif. Hal. 634
[19] Nasib
ar-Rofa’i, Muhammad. 1410/1989 Masehi. Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2. Riyadh: Maktabah Ma’arif. Hal. 634
[20] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, jilid 13, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 100
[21] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, jilid 13, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 101
[22] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, jilid 13, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 101
[23] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, jilid 13, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 101
[24] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, jilid 13, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 102
[25] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, jilid 13, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 102
[26] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, jilid 13, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 102
[27] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, jilid 21, (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1986) hal. 205-206
[28] Nasib ar-Rofa’i, Muhammad. 1410/1989 Masehi. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid
3. Riyadh: Maktabah Ma’arif.Hal.814-815
Tidak ada komentar:
Posting Komentar