Rabu, 24 Juni 2015

makalah hadits tentang niat dan berkata baik atau diam

BAB I
PENDAHULUAN 
Latar Belakang
Perkembangan Islam, sedari awal hingga hari ini, tak lepas dari peranan Hadis. Dalam pemahaman umum, Hadis adalah ajaran Nabi Muhammad SAW, yang meliputi tindakan, perkataan, maupun persetujuannya atas sesuatu.
Keseluruhan tindakan dan ucapan Nabi SAW itu kemudian dijadikan panutan dan patokan bagi para pengikut Muhammad SAW dalam menjalankan perintah-perintah agama.
Semasa Nabi SAW hidup, ajaran-ajaran tersebut belum dibukukan. Hanya ada beberapa pencatat atau semacam sekretaris yang biasa mencatat pesan-pesan Nabi SAW, salah satunya adalah Sahabat Zaid bin Tsabit. Namun setelah wafatnya Muhammad SAW, para ulama bersepakat untuk menulis kembali apa-apa yang pernah disampaikan dan dipraktikkan Nabi SAW dalam bentuk kitab. Terbitlah kemudian kitab-kitab Hadis yang merekam tentang segala sesuatu yang terkait dengan Nabi SAW.
Niat adalah salah satu unsur terpenting dalam setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Bahkan dalam setiap perbuatan yang baik dan benar (ibadah) menghadirkan niat hukumnya fardhu bagi setiap pelaksananya. Banyak hadis yang mencantumkan seberapa penting arti menghadirkan niat dalam setiap perbuatan. Niat juga mengan dung makna keikhlasan terhadap apa yang akan kita kerjakan. Jadi pada intinya setiap niat yang baik pasti menghasilkan perbuatan yang baik pula dan sebaliknya, setiap niat yang buruk akan menghasilkan perbuatan yang buruk pula.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadits tentang Niat
      1.      Materi Hadis 
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
[رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]
Arti Hadits / ترجمة الحديث :
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah  bersabda : Sesungguhnya setiap  perbuatan tergantung niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
(Hadis Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kita Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang)[1]
      2.      Asbab al- wurud hadis tentang niat
Rasulullah SAW mengeluarkan hadis diatas (asbab al-wurud) nya adalah untuk menjawab pertanyaan salah seorang sahabat berkenaan dengan peristiwa hijrahnya rasulullah SAW. Dari mekkah ke madinah, yang diikuti oleh sebagian besar sahabat. Dalam hijrah itu ada salah seorang laki-laki yang turut serta berhijrah. Akan tetapi, niatnya bukan untuk kepentingan perjuangan islam melainkan hendak  menikah dengan seorang wanita yang bernama Ummu Qais. Wanita itu rupanya telah bertekad akan turut hijrah, sedangkan laki-laki tersebut pada mulanya memilih tinggal di Mekkah. Ummu Qais hanya bersedia dikawini ditempat tujuan hijrahnya Rasulullah SAW. yakni Madinah, sehingga laki-laki itupun ikut hijrah ke Madinah.
Ketika peristiwa itu ditanyakan kepada Rasulullah SAW,apakah hijrah dengan motif itu diterima (maqbul) atau tidak, Rasullah SAW menjawab secara umum seperti disebutkan pada hadis diatas.[2]
Dalam hadis ini Rasulullah SAW menegaskan secara khusus, bahwa tiap-tiap perbuatan bergantung kepada dorongan hati (kesengajaan) pelakunya. Kemudian beliau mengambil contoh berupa perbuatan (amal) hijrah.
Hijrah para sahabat dan Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah adalah atas perintah Allah. Melakukan perintah Allah adalah ibadah. Tetapi kalau di dalam melakukan perintah Allah itu maksudnya atau kesengajaannya untuk mendapatkan keuntungan dunia atau materi, seperti istri, harta, pangkat, kemasyuran, pujian dan lain-lain, maka perbuatan tersebut tidak akan mendapat pahala dari Allah. Bahkan ia akan mendapatkan dosa, sebab Allah menyatakan bahwa tiap-tiap orang dalam melekukan perintahnya harus bersikap ikhlas, bersih dari pamrih keduniaan.[3]
      3.      Penjelasan Hadis
Islam adalah agama yang tidak pernah mengajarkan adanya pekerjaan sia-sia, sehingga tidak satu pekerjaan pun yang boleh dilakukan setengah hati. Setiap pekerjaan harus diselesaikan secara serius dengan metodologi dan orientasi yang jelas. Dalam islam , semua kerja (amal) memiliki nilai dan akan dicatat sebagai ibadah dihadapan Allah.
Karena itu tidak ada pekerjaan yang dilakukan tanpa niat dan perencanaan yang jelas. Niat dalam khazanah ilmu fiqh adalah disebut pemicu ruh dan inti ibadah. Niat menjadi tolak ukur diterima tidaknya ibadah seorang hamba. Suatu amal yang tidak didasari niat yang benar dianggap tidak bernilai. Sebab terdapat dua kemungkinan bagi seseorang yang mengerjakan suatu perbuatan. Pertama, ada orang yang mengerjakan suatu pekerjaan tanpa tujuan, tanpa  aturan sebagaimana layaknya robot atau mesin. Kedua, ada yang melekukan suatu perbuatan dengan penuh kesadaran dan memiliki tujuan yang jelas. Niatlah yang akan mengantarkan seseorang agar memasuki kelompok kedua.[4]
      a.      Arti dan makna niat dalam setiap pekerjaan (amal)
Niat atau niyyat, seperti yang dikutip dalam bukunya teungku hasbi as shidieqy (mutiara hadis 1),menurt bahasa adalah tujuan hati dan kehendak hati. Menurut syara ialah bergeraknya hati kearah sesuatu pekerjaan untuk mencapai keridhaan allah dan untuk menyatakan tunduk dan patuh kepada perintah-Nya.
Al baidhawy bwrkata: niat itu ialah bergeraknya hati untuk engerjakan ssuaatu yang dipandang baik, untuk sesuattu maksud, baik untuk menarik sesuatu manfaat ataupun untuk menolak sesuatu mudharat, dalam waktu yang cepat atau dalam waktu yan akan datang. Syara menentukan niat dengan iradat (kehendak hati) yang mengarah kepada pekerjaan untuk mencari keridhaan Allah dan untuk menuruti perintahnya.
Kebanyakan ulama mutaakhirin Syafi’iyah mengartikan niat syar’iyah (niat yang dipandang syara) dengan “menghendaki sesuatu, bersamaan dengan mengerjakannya”[5]
Pengertian niat dalam ensiklopedi hukum islam secara semantis berarti maksud, keinginan kehendak, cita-cita, tekad dan menyengaja. Secara terminologis ulama fiqh mendifinisikan dengan “tekad hati untuk melakukan sesuatu perbuatan ibadah dalam rangka mendekatkan diri semata-mata kepada Allah.[6]
      b.      Fungsi dan peranan niat dalam setiap amal ibadah
Niat merupakan unsur yang sangat menentukan dalam keabsahan suatu amal ibadah dan menentukan keabsahan suatu ibadah dan beberapa jenis muamalah. Menurut istilahnya ialah kehendak hati untuk melakukan perbuatan tertentu untuk mencari keridhaan Allah dan meleksanakan hukumnya. Yang dikatakan niat menurut para fuqaha ialah sesuatu kehendak untuk melaksanakan sesuatu perbuatan berbarengan dengan pelaksanaannya.
Yusuf Qardhawy menjelaskan dalam buku “Niat dan Ikhlas”, bahwa niat itu merupakan amal hati secara murni, bukan amal lidah, maka dari itu tidak pernan dikenal dari Rasulullah, dari sahabat dan orang-orang salaf yang mengikuti mereka tentang adanya niat dalam ibadah yang dilafadzkan.[7]
Disepakati bahwa tempat niat adalah dalam hati dan dilakukan pada permulaan melakukan perbuatan untuk tujuan amal kebajikan. Niat berperan penting dalam ajaran islam, khususnya perbuatan yang berdasarkan perintah syara, atau menurut sebagian ulama,dalam perbuatan yang mengandung harapan untuk mendapatkan pahala dari Allah. Niat akan menentukan nilai, kualitas serta hasilnya, yakni pahala yang akan diperolehnya.
Orang yang berhijrah dengan niat ingin mendapat keuntungan dunia atau ingin mengawini seorang wanita, ia tidak akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Sebaliknya kalau orang hijrah karena ingin mendapat ridha Allah maka ia akan mendapatkannya, bahkan keuntungan dunia pun akan diraihnya.[8]
Agama islam mensyariatkan niat ada dua hikmah yang terkandung didalamnya:
   1)      Untuk membedakan perbuatan-perbuatan yang semata-mata berdasarkan kebiasaan dengan perbuatan-perbuatan ibadah.
      2)      Untuk membedakan martabat, nilai ibadah dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang[9]
      c.       Pendapat para ulama mengenai hadis tentang niat
Menurut pendapat kebanyakan ulama pensyarah hadis, hadis ini  member pengertian \bahwasanya niat itu, adalah syarat syah segala amal yang dimasud (maqashid). Dan mereka berselisih paham tentang mensyaratkan niat dalam urusan 9wasa-il. (yang menjadi jalan bagi muqashid atau orang yang bermaksud).
Al-Ghazaly menetapkan, bahwasanya niat pada sesuatu amalan, adalah syarat syahnya amal, niat yang diartikan menurut makna bahasa (qashad dan iradat).
Menurut Ash-shidieqy hadis tersebut memberi suatu pengertian yang tegas yaitu, segala amal bedasarkan motivasi dari seesorang, kalau motivasi karena Allah, maka dipahalai. Kalau penggeraknya bukan karena Allah tidak dipahalai dan mungkin diganjari dengan dosa.[10]
Lebih lanjut ash-Shidieqy menjelaskan bahwa niat adalah ruh dan amal neracanya. Sesungguhnya tidaklah terjadi sesuatu amal ikhtisyari yang diqashadkan (yang disengajakan) melainkan dengan adanya niat. Maka yang diperoleh oleh seorang amil dari amalannya adalah apa yang mendorongnya untuk beramal, bukan lahiriah amalan.
Lafal niat dalam bahasa Arab digunakan untuk
Pertama, mebedakan antara suatu amal dengan amal yang lain, antara sesuatu ibadah dengan ibadah yang lain,
Kedua, membedakan antara niat seseorang dengan niat seseorang yang lain.
Al-imam Ibnu Katsir brkata, bahwa hadis nabi saw
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“sesungguhnya segala amal itu dengan niat”
 Yang memberi pengertian bahwa amal yang dipandang disisi Allah, hanyalah amal yang disertai niat, adalah karena tidak ada sesuatu yang tersembunyi dari Allah, baik dibumi maupun dilangit. Dan bukanlah kenyataan (rupa) amal yang berharga di sisi-Nya. Allah menghargai amal seseorang menurut niat yang menggerakannya[11]
      d.      Intisari hukum dari hadis tentang niat
Adapun hukum-hukum yang dapat diambil dari materi hadis tentang niat  antara lain:
1)      Para ulama mengambil dalil dengan hadis ini untuk melarang seseorang mengerjakan sesuatu amal sebelum diketahui hokumnya yang pasti. Karena hadis ini memberi pengertian bahwasanya sesuatu amal tidaklah dipandang ada (sah) kalau kosong dari niat dan tidaklah dihukum sahnya niat kecuali sesudah mengetahui hukumnya.
2)      Para ulama mengambil dalil pula dengan hadis ini untuk menetapkan bahwa orang yang ceroboh tidak ada taklif beban hukum atasnya, karena sesuatu qasad menghendaki supaya kita mengetahui yang kita maksudkan, sedang orang ceroboh tidak berniat.
3)      Para ulama mengambil dalil dengan mafhum hadis ini bahwa sesuatu yang bukan amal tidaklah disyaratkan niat, seperti jamak taqdim (jamak shalat seperti menjamak shalat zuhur dengan ashar diwaktu zhuhur)[12]




B.     Hadits Tentang Berkata Baik Atau Lebih Baik Diam

1)      Materi Hadits
حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحيَ. أَنْبَأَنَا ابْنُ وَهْبٍ. قَالَ: أَخْبَرَنِي يُو نُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَاليَوْمِ الْاخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ. وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَاليَوْمِ الْاخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ. وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَاليَوْمِ الْاخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ. (رواه مسلِم)
 “Telah berbicara kepadaku Harmalah bin Yahya ibnu Wahb dia berkata: telah mengabarkan kepadaku yunus dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW beliau bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau (lebih memilih untuk) diam saja. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya.” (H.R. Muslim)[13]
      2)      Kandungan Hadits
Islam merupakan agama yang sungguh rahmatan lil ‘alamin. Benarlah Rasulullah SAW sebagai Rasul yang terakhir merupakan penyempurna agama-agama yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terdahulu. Rasulullah SAW diutus untuk meyempurnakan akhlak. Penyempurnaan akhlak ini sebagai bentuk respon dari akhlak orang jahiliyah yang secara moralitas jauh dari etika yang baik. Dengan ajaran yang dibawa Rasulullah yaitu Islam dengan kitab al-Qur’an membawa kedamaian dalam kehidupan bermasyarakatnya. Ajaran islam memang merupakan agama yang universal, menyeluruh mengatur berbagai aspek yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Dapat ditinjau bahwasanya ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang ibadah lebih minoritas jika dibandingkan dengan ayat yang menerangkan tentang mu’amalah. Rasulullah sebagai uswah selalu memberikan contoh bagaimana melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya.
Akhlak atau etika yang dicontohkan oleh Rasulullah pada dasarnya semua baik dan benar.  Salah satunya yaitu etika Rasullah terhadap tetangganya. Karena secara manusiawi, Rasulullah juga sebagai manusia biasa, yang hidup di lingkungan masyarakat juga. Maka dicontohkan oleh beliau bagaimana etika yang baik terhadap tetangga sebagaimana hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas. Makna yang terkandung dalam hadits di atas adalah bahwasanya bagi orang yang beriman maka yang harus ia lakukan adalah dengan memuliakan tetangganya, tamunya dan diam kecuali dalam hal kebaikan. Hadits ini mencakup 3 etika sekaligus yang harus dimiliki oleh orang mukmin. Namun, dalam pembahasan kali ini akan lebih jauh membahas tentang etika orang mukmin terhadap tetangganya.
Jika bicara tentang memuliakan, disini bukan berarti mengagung-agungkan tetangga dengan berbagai sanjungan tetapi pada hakikatnya, antara tetangga satu dengan yang lainnya itu memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi antara satu dengan yang lain. Malaikat jibril berulang kali mengingatkan Rasulullah tentang akhlak terhadap tetangga karena pentingnya hal ini, sampai-sampai Rasulullah mengira bahwa antar tetangga itu saling mewarisi. Sebagaimana hadis berikut ini:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ وَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالاَ : قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَازاَلَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِى باِلْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ اَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ (مُتَّفَقَ عَلَيْهِ)
Dari Ibnu Umar dan Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Berulang kali Jibril berpesan  kepadaku supaya aku berbuat baik terhadap tetangga sehingga aku mengira bahwa ia (tetangga) akan diberi hak waris.” (H.R. Bukhari-Muslim).[14]
                Rasulullah juga memberikan anjuran untuk melakukan hal-hal tertentu yang kiranya akan memperkokoh tali silaturrahmi, persaudaraan dan kecintaan terhadap tetangga. Salah satu anjuran Rasulullah sebagaimana yang disabdakan Rasulullah kepada sahabat Abu Dzar al-Ghiffari supaya memperhatikan tetangganya dalam segala hal, misalnya seperti ketika memasak kuah, hendaklah diperbanyak airnya. Salah satu tujuannya yaitu supaya ketika ada tetangga kita yang tidak sempat membuat kuah sehingga dapat diberikan kepada yang memerlukan. Hadis tersebut yaitu sebagai berikut ini:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ ص.م.:يَااَبَاذَرٍّ اِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَاَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاجِيْرَانَكَ. (رواه مسلم(
“Dari Abu Dzar R.A., ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Hai Abu Dzar, kalau engkau memasak kuah maka perbanyaklah airnya dan perhatikanlah tetangga-tetanggamu” (H.R. Muslim)[15]
Rasulullah  sangat memperhatikan akhlak terhadap siapapun. Dari hadis tersebut di atas dapat di ambil pelajaran bahwa, ketika ada tetangga yang mencium bau harum dari masakan kita dapat pula menikmati masakan kita ketika kita memberinya. Jadi tidak ada rasa dari hati kita untuk memamerkan diri dengan aroma kita dan tidak pula mengiming-imingi masakan yang kita masak. Hal tersebut juga merupakan wujud dari rasa syukur kita kepada Allah atas nikmat harta yang dititipkan Allah kepada kita.
Pernah suatu waktu, Rasulullah mengulang-ulang sabdanya tentang keimanan. Namun, dalam satu kesempatan ini Rasulullah menekankan bahwa salah satu tanda orang yang beriman merupakan orang yang tidak mengganggu tetangganya. Hadis tersebut sebagai berikut:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : وَاللهُ لاَيُؤْمِنُ, وَاللهُ لاَيُؤْمِنُ, وَاللهُ لاَيُؤْمِنُ, قِيْلَ : مَنْ يَارَسُوْلُ اللهِ ؟ قَالَ : الَّذِى لاَيَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
“Dari Abu Hurairah r.a. bahwa sesengguhnya Nabi SAW. bersabda, “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Nabi ditanya,”Siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab,”Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (H.R. Bukhori-Muslim).[16]
Dalam hadis di atas, Rasulullah sampai-sampai mengulang 3 kali sabdanya tentang orang yang tidak beriman yaitu orang yang mengganggu tetangganya. Betapa pentingnya hal tersebut, sehingga menempatkan akhlak terhadap tetangga merupakan salah satu cerminan tentang iman seseorang. Diantara tanda seseorang memiliki iman yaitu bagusnya mu’amalah, utamanya dengan tetangga. Maka, barang siapa yang ternyata, tetangga-tetangganya merasa tidak aman dari gangguannya, maka merupakan tanda bahwa orang tersebut imannya lemah. Dapat ditarik kesimpulan bahwa, dari cara bergaul dengan tetangga dapat diukur bagaimana tingkat keimanan seseorang. Dapat dilihat pula pada kehidupan bermasyarakat bahwa masyarakat yang tidak mengindahkan syari’at Islam, maka tidak akan banyak memperhatikan soal-soal hidup bertetangga.[17]
Hal tersebut sedikit banyak dapat kita lihat dari kesenjangan antara penduduk desa dan kota saat ini. Penduduk kota yang masing-masing sibuk dengan urusan pekerjaan dan rumah tangga masing-masing tanpa peduli dengan tetangga sendiri. Sementara itu, di masyarakat desa yang masih melestarikan warisan dari leluhurnya, tetap menjaga toleransi antar tetangga.
Tetangga ibarat kata dapat dikatakan sebagai saudara yang paling dekat. Karena jarak secara posisi rumah merupakan yang paling dekat. Dari kita sendiri terkadang memiliki banyak saudara, namun jarak posisi rumahnya terkadang justru sangat jauh dari kita. Sedangkan tetangga kita yang sangat dekat bukanlah saudara kita sedarah. Dengan kenyataan tersebut, maka peran tetangga menjadi sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Pada kenyataannya pula, segala hal yang pertama kali mendengar adalah tetangga. Belum tentu saudara sendiri mendengar segala masalah yang ada. Jadi, peran tetangga sangat penting.
Maka, kewajiban kita yaitu menolongnya ketika membutuhkan, memberi selamat padanya ketika mendapatkan kesenangan, menghiburnya ketika tertimpa musibah, menjenguknya ketika sakit, memberinya ketika membutuhkan dan masih banyak lagi hal-hal yang dapat kita lakukan kepada tetangga.
Kita menyadari bahwasanya tetangga disekitar kita tidak hanya satu saja, tetapi banyak. Tetangga merupakan orang yang berada disekeliling kita, baik depan ataupun belakang, kanan ataupun kiri. Seorang muslim yang paling utama adalah muslim yang mampu melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak sesaamanya. Dianjurkan pula bagi seorang muslim menyelamatkan kaum muslimin dari bencana akibat ucapan lidah dan perbuatan tangannya atau mungkin juga merupakan dorongan bagi muslim untuk berprilaku dan berbudi pekerti baik terhadap Tuhannya, karna apabila seorang muslim berlaku baik terhadap sesame, sudah tentu dia akan berprilaku baik terhadap Tuhannya.[18]
Penjelasan dari Rasulullah tersebut sudah begitu jelas dan dapat diterapkan dalam kehidupan. Selain hal tersebut, kehidupan bermu’amalah juga telah diatur dalam al-Qur’an. Hak dan kewajiban antar tetangga juga disebutkan dalam al-Qur’an seperti berikut;
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.(An-Nisa:36)
Dalam ayat di atas disebutkan tentang berbuat baik kepada tetangga yang dekat maupun tetangga yang jauh. Para mufassir berbeda-beda dalam menafsirkan tentang istilah tetangga dekat dan tetangga jauh ini. Menurut Ahmad Mushthafa Al-Maraghi dalam kitab tafsir al-Maraghi mengatakan bahwa yang disebut tetangga adalah satu macam dari kaum kerabat, karena dekatnya tempat tinggal Sebagian ulama menetapkan bahwa tetangga adalah penghuni yang tinggal disekeliling rumah, sejak dari rumah yang pertama hingga rumah keempat puluh.[19]
Ada pula ulama yang tidak memberi batas tertentu dan mengembalikannya kepada keadaan setiap masyarakat. Secara kita ketahui bahwa tetangga kita terkadang merupakan orang yang belum kita kenal atau lebih lagi tetangga kita adalah orang yang berlainan agama dengan kita. Maka, kesemuanya itu haruslah mendapatkan kebaikan dari kita karena hal tersebut adalah hak mereka yang menjadi kewajiban kita. Hendaklah tetangga ikut bergembira dengan kegembiraan kita dan kita dapat menyampaikan bela sungkawa karena kesedihannya serta membantunya ketika mengalami kesulitan.
Dalam bermu’amalah kita sesungguhnya berinteraksi dengan  manusia. Disinilah kita manusia dibicarakan sebagai makhluk sosisal. Hubungan terdekat dalam lingkungan hidup kita yang pertama kali adalah tetangga. Allah menganjurkan bagi kita untuk salinbg tolong menolong dalam hal kebaikan, bukan dalam hal keburukan sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Maidah:2;
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى اْلبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَاْلعُدْوَانِ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ اْلعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Sesungguhnya apa yang diperintahkan oleh Allah merupakan sesuatu yang hak dan mutlak. Dari segala sikap yang kita ambil hendaklah sesuai dengan ketentuan-Nya. Dapat kita tarik kesimpulan bahwa, ketika kita menolong seseorang terlebih itu tetangga sendiri dalm suatu kebaikan, maka akan menambah ketentraman di hati karena dapat melonggarkan urusan tetangga.
Selain hal itu, dengan membantu tetangga maka secara otomatis mampu mempererat tali persaudaraan. Namun, bila kita membantu dalam hal keburukan, maka hal tersebut sesungguhnya hanya menambah beban hati dan fikiran. Karena kita tidak akan merasa tenang dengan apa yang kita lakukan tanpa keridhoan Allah. Karena tolong menolong dapat mempererat tali silaturrahim, hal tersebut sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ar-Ra’d:21 sebagi berikut:
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَآأَمَرَ اللهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.”
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan untuk menghubungkan apa-apa yang harus dihubungkan. Yang dimaksud disini adalah menghubungkan tali silaturrahim dan tali persaudaraan. Jika hal ini dipegang teguh oleh umat islam, maka tiadalah perpecahan antara umat islam. Tidak ada pemberontakan, permusuhan dan perseteruan yang dewasa ini banyak memakan korban jiwa.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari Pembahasan yang telah dijelaskan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
      1.      Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati.
    2.      Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus dita`yin (ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus menentukan dalam niatnya shalat apa yang akan ia kerjakan apakah shalat sunnah atau shalat wajib, dhuhur, atau ashar, dst. Bila ingin puasa maka ia harus menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah, puasa qadha atau yang lainnya.
      3.      Amal tergantung dari niat, tentang sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau maksiat.
   4.      Islam merupakan agama yang sungguh rahmatan lil ‘alamin, dan islam lah yang banyak mengajarkan kepada kita tentang akhlak terpuji, dari hadis yang telah dijelaskan di atas bahwa berkata baik atau diam merupakan salah satu bentuk akhlak terpuji sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Saw.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Fauzan. 1998. Kitab Tauhid I. Jakarta: Darul Haq.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi 2002. Mutiara Hadis 1. Semarang: Pustaka RIzky Putra.
Kuraedah,St. 2008. Hadis Tarbawi. Kendari: Istana Profesional.
Noer, Jefry. 2006. Shalat Yang Benar. Jakarta: Prenada Media.
Qosim, Amjad. 2008. Hafal al-Quran Dalam Sebulan. Solo: Qiblat Press.
Shabir, Muslilich. 2004. Terjemahan Riadu Shalihin. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Syafe’I, Rachnat. 2000. Al-Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Thalib, M. Butir-Butir Pendidikan Dalam Hadis. Surabaya: al-Ikhlas.



[1]Muslilich Shabir, Terjemahan Riadu Shalihin, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2004), hlm. 1.
[2]Rachnat Syafe’I, Al-Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 55-56.
[3]M. Thalib, Butir-Butir Pendidikan Dalam Hadis, (Surabaya:al-Ikhlas), hlm. 9.
[4] Jefry Noer, Shalat Yang Benar , (Jakarta: Prenada Media,2006), hlm. 3.
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadis 1, (Semarang: Pustaka RIzky Putra, 2002), hlm. 4.
[6] St. Kuraedah, Hadis Tarbawi, (Kendari: Istana Profesional, 2008) hlm. 60.
[7] Ibid,.
[8] Rachnat Syafe’I, Al-Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 56-57.
[9] St. Kuraedah, Hadis Tarbawi, (Kendari: Istana Profesional, 2008) hlm. 61.
[10] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadis 1, (Semarang: Pustaka RIzky Putra, 2002), hlm. 6.
[11]Ibid, hlm.7.
[12] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadis 1, (Semarang: Pustaka RIzky Putra, 2002), hlm. 8.
[13] Hadits riwayat Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Iman, Bab Al-hatsu ‘ala ikromi al Jari wa ad-dhoifi wa luzumi as shumti illa an al-khoiri wa kauni dzalik kulluhu min al iman (Beirut: Dar al-Fikri, 1992 M/1412 H), jld. 1, hal. 45.
[14] Imam Abu Zakariya Syarif An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Kitab Al-Ma’murat, Bab Al Haq Al Jarri wal Wasiyyatu bihi,  (Beirut: Dar al-Fikri, 1994 M/144 H), jld 1, hal. 73
[15] Ibid
[16] Imam Abu Zakariya Syarif An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Kitab Al-Ma’murat, Bab Al Haq Al Jarri wal Wasiyyatu bihi,  (Beirut: Dar al-Fikri, 1994 M/144 H), jld 1, hal. 73
[17] Husaini A. Majid Hasyim, Syarah Riyadhus Shalihin, Terj. Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan (Surabaya: PT. Bina Ilmu, Cet. III, 2006), jld. 1, hal. 504.
[18] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Barri, Terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), jld 1, hal 90
[19] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abubakar dan Hery Noer Aly  (Semarang: CV. Toha Putra, 1992), jld. 5, hal. 55.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar