BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Perkembangan Islam,
sedari awal hingga hari ini, tak lepas dari peranan Hadis. Dalam pemahaman
umum, Hadis adalah ajaran Nabi Muhammad SAW, yang meliputi tindakan, perkataan,
maupun persetujuannya atas sesuatu.
Keseluruhan tindakan dan ucapan Nabi SAW
itu kemudian dijadikan panutan dan patokan bagi para pengikut Muhammad SAW
dalam menjalankan perintah-perintah agama.
Semasa Nabi SAW hidup,
ajaran-ajaran tersebut belum dibukukan. Hanya ada beberapa pencatat atau
semacam sekretaris yang biasa mencatat pesan-pesan Nabi SAW, salah satunya
adalah Sahabat Zaid bin Tsabit. Namun setelah wafatnya Muhammad SAW, para ulama
bersepakat untuk menulis kembali apa-apa yang pernah disampaikan dan dipraktikkan
Nabi SAW dalam bentuk kitab. Terbitlah kemudian kitab-kitab Hadis yang merekam
tentang segala sesuatu yang terkait dengan Nabi SAW.
Niat adalah salah satu
unsur terpenting dalam setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Bahkan
dalam setiap perbuatan yang baik dan benar (ibadah) menghadirkan niat hukumnya
fardhu bagi setiap pelaksananya. Banyak hadis yang mencantumkan seberapa
penting arti menghadirkan niat dalam setiap perbuatan. Niat juga mengan dung
makna keikhlasan terhadap apa yang akan kita kerjakan. Jadi pada intinya
setiap niat yang baik pasti menghasilkan perbuatan yang baik pula dan
sebaliknya, setiap niat yang buruk akan menghasilkan perbuatan yang buruk pula.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits tentang Niat
1.
Materi Hadis
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا
نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى
اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ
امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
[رواه إماما المحدثين أبو عبد
الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم
بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]
Arti Hadits / ترجمة الحديث :
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob
radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung
niatnya. Dan sesungguhnya
setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia
niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa
yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin
dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
(Hadis
Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al
Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin
Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kita Shahihnya yang merupakan kitab
yang paling shahih yang pernah dikarang)[1]
2.
Asbab al- wurud hadis tentang niat
Rasulullah SAW mengeluarkan hadis
diatas (asbab al-wurud) nya adalah untuk menjawab pertanyaan salah seorang
sahabat berkenaan dengan peristiwa hijrahnya rasulullah SAW. Dari mekkah ke
madinah, yang diikuti oleh sebagian besar sahabat. Dalam hijrah itu ada salah
seorang laki-laki yang turut serta berhijrah. Akan tetapi, niatnya bukan untuk
kepentingan perjuangan islam melainkan hendak
menikah dengan seorang wanita yang bernama Ummu Qais. Wanita itu rupanya
telah bertekad akan turut hijrah, sedangkan laki-laki tersebut pada mulanya
memilih tinggal di Mekkah. Ummu Qais hanya bersedia dikawini ditempat tujuan
hijrahnya Rasulullah SAW. yakni Madinah, sehingga laki-laki itupun ikut hijrah
ke Madinah.
Ketika peristiwa itu ditanyakan
kepada Rasulullah SAW,apakah hijrah dengan motif itu diterima (maqbul) atau
tidak, Rasullah SAW menjawab secara umum seperti disebutkan pada hadis diatas.[2]
Dalam hadis ini Rasulullah SAW
menegaskan secara khusus, bahwa tiap-tiap perbuatan bergantung kepada dorongan
hati (kesengajaan) pelakunya. Kemudian beliau mengambil contoh berupa perbuatan
(amal) hijrah.
Hijrah para sahabat dan Nabi SAW dari
Mekkah ke Madinah adalah atas perintah Allah. Melakukan perintah Allah adalah
ibadah. Tetapi kalau di dalam melakukan perintah Allah itu maksudnya atau
kesengajaannya untuk mendapatkan keuntungan dunia atau materi, seperti istri,
harta, pangkat, kemasyuran, pujian dan lain-lain, maka perbuatan tersebut tidak
akan mendapat pahala dari Allah. Bahkan ia akan mendapatkan dosa, sebab Allah
menyatakan bahwa tiap-tiap orang dalam melekukan perintahnya harus bersikap
ikhlas, bersih dari pamrih keduniaan.[3]
3.
Penjelasan
Hadis
Islam adalah agama yang tidak pernah mengajarkan
adanya pekerjaan sia-sia, sehingga tidak satu pekerjaan pun yang boleh
dilakukan setengah hati. Setiap pekerjaan harus diselesaikan secara serius
dengan metodologi dan orientasi yang jelas. Dalam islam , semua kerja (amal)
memiliki nilai dan akan dicatat sebagai ibadah dihadapan Allah.
Karena itu tidak ada pekerjaan yang dilakukan tanpa
niat dan perencanaan yang jelas. Niat dalam khazanah ilmu fiqh adalah disebut
pemicu ruh dan inti ibadah. Niat menjadi tolak ukur diterima tidaknya ibadah seorang
hamba. Suatu amal yang tidak didasari niat yang benar dianggap tidak bernilai.
Sebab terdapat dua kemungkinan bagi seseorang yang mengerjakan suatu perbuatan.
Pertama, ada orang yang mengerjakan suatu pekerjaan tanpa tujuan,
tanpa aturan sebagaimana layaknya robot
atau mesin. Kedua, ada yang melekukan suatu perbuatan dengan penuh
kesadaran dan memiliki tujuan yang jelas. Niatlah yang akan mengantarkan
seseorang agar memasuki kelompok kedua.[4]
a.
Arti dan makna niat dalam setiap pekerjaan (amal)
Niat atau niyyat, seperti yang dikutip dalam bukunya
teungku hasbi as shidieqy (mutiara hadis 1),menurt bahasa adalah tujuan hati
dan kehendak hati. Menurut syara ialah bergeraknya hati kearah sesuatu
pekerjaan untuk mencapai keridhaan allah dan untuk menyatakan tunduk dan patuh
kepada perintah-Nya.
Al baidhawy bwrkata: niat itu ialah bergeraknya hati
untuk engerjakan ssuaatu yang dipandang baik, untuk sesuattu maksud, baik untuk
menarik sesuatu manfaat ataupun untuk menolak sesuatu mudharat, dalam waktu
yang cepat atau dalam waktu yan akan datang. Syara menentukan niat dengan
iradat (kehendak hati) yang mengarah kepada pekerjaan untuk mencari keridhaan
Allah dan untuk menuruti perintahnya.
Kebanyakan ulama mutaakhirin Syafi’iyah mengartikan
niat syar’iyah (niat yang dipandang syara) dengan “menghendaki sesuatu,
bersamaan dengan mengerjakannya”[5]
Pengertian niat dalam ensiklopedi hukum islam secara
semantis berarti maksud, keinginan kehendak, cita-cita, tekad dan menyengaja.
Secara terminologis ulama fiqh mendifinisikan dengan “tekad hati untuk
melakukan sesuatu perbuatan ibadah dalam rangka mendekatkan diri semata-mata
kepada Allah.[6]
b.
Fungsi dan peranan niat dalam setiap amal ibadah
Niat merupakan unsur yang sangat menentukan dalam
keabsahan suatu amal ibadah dan menentukan keabsahan suatu ibadah dan beberapa
jenis muamalah. Menurut istilahnya ialah kehendak hati untuk melakukan
perbuatan tertentu untuk mencari keridhaan Allah dan meleksanakan hukumnya.
Yang dikatakan niat menurut para fuqaha ialah sesuatu kehendak untuk
melaksanakan sesuatu perbuatan berbarengan dengan pelaksanaannya.
Yusuf Qardhawy menjelaskan dalam buku “Niat dan
Ikhlas”, bahwa niat itu merupakan amal hati secara murni, bukan amal lidah,
maka dari itu tidak pernan dikenal dari Rasulullah, dari sahabat dan
orang-orang salaf yang mengikuti mereka tentang adanya niat dalam ibadah yang
dilafadzkan.[7]
Disepakati bahwa tempat niat adalah dalam hati dan
dilakukan pada permulaan melakukan perbuatan untuk tujuan amal kebajikan. Niat
berperan penting dalam ajaran islam, khususnya perbuatan yang berdasarkan
perintah syara, atau menurut sebagian ulama,dalam perbuatan yang mengandung
harapan untuk mendapatkan pahala dari Allah. Niat akan menentukan nilai,
kualitas serta hasilnya, yakni pahala yang akan diperolehnya.
Orang yang berhijrah dengan niat ingin mendapat
keuntungan dunia atau ingin mengawini seorang wanita, ia tidak akan mendapatkan
pahala dari Allah SWT. Sebaliknya kalau orang hijrah karena ingin mendapat
ridha Allah maka ia akan mendapatkannya, bahkan keuntungan dunia pun akan
diraihnya.[8]
Agama islam mensyariatkan niat ada dua hikmah yang
terkandung didalamnya:
1)
Untuk membedakan
perbuatan-perbuatan yang semata-mata berdasarkan kebiasaan dengan
perbuatan-perbuatan ibadah.
c.
Pendapat para ulama mengenai hadis tentang niat
Menurut pendapat kebanyakan ulama pensyarah hadis,
hadis ini member pengertian \bahwasanya
niat itu, adalah syarat syah segala amal yang dimasud (maqashid). Dan
mereka berselisih paham tentang mensyaratkan niat dalam urusan 9wasa-il.
(yang menjadi jalan bagi muqashid atau orang yang bermaksud).
Al-Ghazaly menetapkan, bahwasanya niat pada sesuatu
amalan, adalah syarat syahnya amal, niat yang diartikan menurut makna bahasa
(qashad dan iradat).
Menurut Ash-shidieqy hadis tersebut memberi suatu
pengertian yang tegas yaitu, segala amal bedasarkan motivasi dari seesorang,
kalau motivasi karena Allah, maka dipahalai. Kalau penggeraknya bukan karena
Allah tidak dipahalai dan mungkin diganjari dengan dosa.[10]
Lebih lanjut ash-Shidieqy menjelaskan bahwa niat
adalah ruh dan amal neracanya. Sesungguhnya tidaklah terjadi sesuatu amal
ikhtisyari yang diqashadkan (yang disengajakan) melainkan dengan adanya
niat. Maka yang diperoleh oleh seorang amil dari amalannya adalah apa yang
mendorongnya untuk beramal, bukan lahiriah amalan.
Lafal niat dalam bahasa Arab digunakan untuk
Pertama, mebedakan antara suatu
amal dengan amal yang lain, antara sesuatu ibadah dengan ibadah yang lain,
Kedua, membedakan antara niat
seseorang dengan niat seseorang yang lain.
Al-imam Ibnu Katsir brkata, bahwa hadis nabi saw
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“sesungguhnya segala amal itu dengan
niat”
Yang memberi pengertian bahwa amal yang
dipandang disisi Allah, hanyalah amal yang disertai niat, adalah karena tidak
ada sesuatu yang tersembunyi dari Allah, baik dibumi maupun dilangit. Dan
bukanlah kenyataan (rupa) amal yang berharga di sisi-Nya. Allah menghargai amal
seseorang menurut niat yang menggerakannya[11]
d.
Intisari hukum dari hadis tentang niat
Adapun hukum-hukum yang dapat diambil dari materi hadis tentang niat antara lain:
1) Para ulama mengambil dalil dengan hadis ini untuk melarang seseorang
mengerjakan sesuatu amal sebelum diketahui hokumnya yang pasti. Karena hadis
ini memberi pengertian bahwasanya sesuatu amal tidaklah dipandang ada (sah)
kalau kosong dari niat dan tidaklah dihukum sahnya niat kecuali sesudah
mengetahui hukumnya.
2) Para ulama mengambil dalil pula dengan hadis ini untuk menetapkan bahwa
orang yang ceroboh tidak ada taklif beban hukum atasnya, karena sesuatu qasad
menghendaki supaya kita mengetahui yang kita maksudkan, sedang orang ceroboh
tidak berniat.
3) Para ulama mengambil dalil dengan mafhum hadis ini bahwa sesuatu yang bukan
amal tidaklah disyaratkan niat, seperti jamak taqdim (jamak shalat seperti
menjamak shalat zuhur dengan ashar diwaktu zhuhur)[12]
B.
Hadits Tentang Berkata Baik
Atau Lebih Baik Diam
1)
Materi Hadits
حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحيَ. أَنْبَأَنَا ابْنُ
وَهْبٍ. قَالَ: أَخْبَرَنِي يُو نُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ
بْنِ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَاليَوْمِ
الْاخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ. وَمَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَاليَوْمِ الْاخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ. وَمَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَاليَوْمِ الْاخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ. (رواه
مسلِم)
“Telah berbicara kepadaku Harmalah bin Yahya
ibnu Wahb dia berkata: telah mengabarkan kepadaku yunus dari Ibnu Syihab dari
Abu Salamah bin ‘Abdirrahman dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW beliau
bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia
berkata yang baik atau (lebih memilih untuk) diam saja. Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya.
Barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan
tamunya.” (H.R. Muslim)[13]
2)
Kandungan Hadits
Islam merupakan agama yang sungguh rahmatan lil ‘alamin.
Benarlah Rasulullah SAW sebagai Rasul yang terakhir merupakan penyempurna
agama-agama yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terdahulu. Rasulullah SAW diutus
untuk meyempurnakan akhlak. Penyempurnaan akhlak ini sebagai bentuk respon dari
akhlak orang jahiliyah yang secara moralitas jauh dari etika yang baik. Dengan
ajaran yang dibawa Rasulullah yaitu Islam dengan kitab al-Qur’an membawa
kedamaian dalam kehidupan bermasyarakatnya. Ajaran islam memang merupakan agama
yang universal, menyeluruh mengatur berbagai aspek yang berkaitan dengan
hubungan antar manusia. Dapat ditinjau bahwasanya ayat al-Qur’an yang
menerangkan tentang ibadah lebih minoritas jika dibandingkan dengan ayat yang
menerangkan tentang mu’amalah. Rasulullah sebagai uswah selalu
memberikan contoh bagaimana melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya.
Akhlak atau etika yang dicontohkan oleh Rasulullah pada dasarnya semua baik
dan benar. Salah satunya yaitu etika Rasullah terhadap tetangganya.
Karena secara manusiawi, Rasulullah juga sebagai manusia biasa, yang hidup di
lingkungan masyarakat juga. Maka dicontohkan oleh beliau bagaimana etika yang
baik terhadap tetangga sebagaimana hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam
Muslim di atas. Makna yang terkandung dalam hadits di atas adalah bahwasanya bagi
orang yang beriman maka yang harus ia lakukan adalah dengan memuliakan
tetangganya, tamunya dan diam kecuali dalam hal kebaikan. Hadits ini mencakup 3
etika sekaligus yang harus dimiliki oleh orang mukmin. Namun, dalam pembahasan
kali ini akan lebih jauh membahas tentang etika orang mukmin terhadap
tetangganya.
Jika bicara tentang memuliakan, disini bukan berarti mengagung-agungkan
tetangga dengan berbagai sanjungan tetapi pada hakikatnya, antara tetangga satu
dengan yang lainnya itu memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi antara
satu dengan yang lain. Malaikat jibril berulang kali mengingatkan Rasulullah
tentang akhlak terhadap tetangga karena pentingnya hal ini, sampai-sampai
Rasulullah mengira bahwa antar tetangga itu saling mewarisi. Sebagaimana hadis
berikut ini:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ وَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
قَالاَ : قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَازاَلَ
جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِى باِلْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ اَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
(مُتَّفَقَ عَلَيْهِ)
Dari Ibnu Umar dan
Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Berulang kali Jibril
berpesan kepadaku supaya aku berbuat baik terhadap tetangga sehingga
aku mengira bahwa ia (tetangga) akan diberi hak waris.” (H.R. Bukhari-Muslim).[14]
Rasulullah
juga memberikan anjuran untuk melakukan hal-hal tertentu yang kiranya akan
memperkokoh tali silaturrahmi, persaudaraan dan kecintaan terhadap tetangga.
Salah satu anjuran Rasulullah sebagaimana yang disabdakan Rasulullah kepada
sahabat Abu Dzar al-Ghiffari supaya memperhatikan tetangganya dalam segala hal,
misalnya seperti ketika memasak kuah, hendaklah diperbanyak airnya. Salah satu
tujuannya yaitu supaya ketika ada tetangga kita yang tidak sempat membuat kuah
sehingga dapat diberikan kepada yang memerlukan. Hadis tersebut yaitu sebagai
berikut ini:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ
اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ ص.م.:يَااَبَاذَرٍّ اِذَا طَبَخْتَ
مَرَقَةً فَاَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاجِيْرَانَكَ. (رواه مسلم(
“Dari Abu Dzar R.A., ia
berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Hai Abu Dzar, kalau engkau memasak kuah
maka perbanyaklah airnya dan perhatikanlah tetangga-tetanggamu” (H.R. Muslim)[15]
Rasulullah sangat memperhatikan akhlak terhadap siapapun. Dari
hadis tersebut di atas dapat di ambil pelajaran bahwa, ketika ada tetangga yang
mencium bau harum dari masakan kita dapat pula menikmati masakan kita ketika
kita memberinya. Jadi tidak ada rasa dari hati kita untuk memamerkan diri
dengan aroma kita dan tidak pula mengiming-imingi masakan yang kita masak. Hal
tersebut juga merupakan wujud dari rasa syukur kita kepada Allah atas nikmat
harta yang dititipkan Allah kepada kita.
Pernah suatu waktu, Rasulullah mengulang-ulang sabdanya tentang keimanan.
Namun, dalam satu kesempatan ini Rasulullah menekankan bahwa salah satu tanda
orang yang beriman merupakan orang yang tidak mengganggu tetangganya. Hadis
tersebut sebagai berikut:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : وَاللهُ لاَيُؤْمِنُ, وَاللهُ
لاَيُؤْمِنُ, وَاللهُ لاَيُؤْمِنُ, قِيْلَ : مَنْ يَارَسُوْلُ اللهِ ؟ قَالَ :
الَّذِى لاَيَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
“Dari Abu Hurairah r.a.
bahwa sesengguhnya Nabi SAW. bersabda, “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah,
tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Nabi ditanya,”Siapa ya Rasulullah?”
Beliau menjawab,”Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (H.R. Bukhori-Muslim).[16]
Dalam hadis di atas, Rasulullah sampai-sampai mengulang 3 kali sabdanya
tentang orang yang tidak beriman yaitu orang yang mengganggu tetangganya.
Betapa pentingnya hal tersebut, sehingga menempatkan akhlak terhadap tetangga
merupakan salah satu cerminan tentang iman seseorang. Diantara tanda seseorang
memiliki iman yaitu bagusnya mu’amalah, utamanya dengan tetangga. Maka, barang
siapa yang ternyata, tetangga-tetangganya merasa tidak aman dari gangguannya,
maka merupakan tanda bahwa orang tersebut imannya lemah. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa, dari cara bergaul dengan tetangga dapat diukur bagaimana
tingkat keimanan seseorang. Dapat dilihat pula pada kehidupan bermasyarakat
bahwa masyarakat yang tidak mengindahkan syari’at Islam, maka tidak akan banyak
memperhatikan soal-soal hidup bertetangga.[17]
Hal tersebut sedikit banyak dapat kita lihat dari kesenjangan antara
penduduk desa dan kota saat ini. Penduduk kota yang
masing-masing sibuk dengan urusan pekerjaan dan rumah tangga masing-masing
tanpa peduli dengan tetangga sendiri. Sementara itu, di masyarakat desa
yang masih melestarikan warisan dari leluhurnya, tetap menjaga toleransi antar
tetangga.
Tetangga ibarat kata dapat dikatakan sebagai saudara yang paling dekat.
Karena jarak secara posisi rumah merupakan yang paling dekat. Dari kita sendiri
terkadang memiliki banyak saudara, namun jarak posisi rumahnya terkadang justru
sangat jauh dari kita. Sedangkan tetangga kita yang sangat dekat bukanlah
saudara kita sedarah. Dengan kenyataan tersebut, maka peran tetangga menjadi
sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Pada kenyataannya pula, segala
hal yang pertama kali mendengar adalah tetangga. Belum tentu saudara sendiri
mendengar segala masalah yang ada. Jadi, peran tetangga sangat penting.
Maka, kewajiban kita yaitu menolongnya ketika membutuhkan, memberi selamat
padanya ketika mendapatkan kesenangan, menghiburnya ketika tertimpa musibah,
menjenguknya ketika sakit, memberinya ketika membutuhkan dan masih banyak lagi
hal-hal yang dapat kita lakukan kepada tetangga.
Kita menyadari bahwasanya tetangga disekitar kita tidak hanya satu saja,
tetapi banyak. Tetangga merupakan orang yang berada disekeliling kita, baik
depan ataupun belakang, kanan ataupun kiri. Seorang muslim yang paling
utama adalah muslim yang mampu melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak
Allah dan hak-hak sesaamanya. Dianjurkan pula bagi seorang muslim menyelamatkan
kaum muslimin dari bencana akibat ucapan lidah dan perbuatan tangannya atau
mungkin juga merupakan dorongan bagi muslim untuk berprilaku dan berbudi
pekerti baik terhadap Tuhannya, karna apabila seorang muslim berlaku baik terhadap
sesame, sudah tentu dia akan berprilaku baik terhadap Tuhannya.[18]
Penjelasan dari Rasulullah tersebut sudah begitu jelas dan dapat diterapkan
dalam kehidupan. Selain hal tersebut, kehidupan bermu’amalah juga
telah diatur dalam al-Qur’an. Hak dan kewajiban antar tetangga juga disebutkan
dalam al-Qur’an seperti berikut;
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ
وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ مَن كَانَ
مُخْتَالاً فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.(An-Nisa:36)
Dalam ayat di atas disebutkan tentang
berbuat baik kepada tetangga yang dekat maupun tetangga yang
jauh. Para mufassir berbeda-beda dalam menafsirkan tentang istilah
tetangga dekat dan tetangga jauh ini. Menurut Ahmad Mushthafa Al-Maraghi dalam
kitab tafsir al-Maraghi mengatakan bahwa yang disebut tetangga adalah satu
macam dari kaum kerabat, karena dekatnya tempat tinggal Sebagian ulama
menetapkan bahwa tetangga adalah penghuni yang tinggal disekeliling rumah,
sejak dari rumah yang pertama hingga rumah keempat puluh.[19]
Ada pula
ulama yang tidak memberi batas tertentu dan mengembalikannya kepada keadaan
setiap masyarakat. Secara kita ketahui bahwa tetangga kita terkadang merupakan
orang yang belum kita kenal atau lebih lagi tetangga kita adalah orang yang
berlainan agama dengan kita. Maka, kesemuanya itu haruslah mendapatkan kebaikan
dari kita karena hal tersebut adalah hak mereka yang menjadi kewajiban kita.
Hendaklah tetangga ikut bergembira dengan kegembiraan kita dan kita dapat
menyampaikan bela sungkawa karena kesedihannya serta membantunya ketika
mengalami kesulitan.
Dalam bermu’amalah kita sesungguhnya berinteraksi
dengan manusia. Disinilah kita manusia dibicarakan sebagai makhluk
sosisal. Hubungan terdekat dalam lingkungan hidup kita yang pertama kali adalah
tetangga. Allah menganjurkan bagi kita untuk salinbg tolong menolong dalam hal
kebaikan, bukan dalam hal keburukan sebagaimana firman Allah dalam Q.S.
Al-Maidah:2;
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى اْلبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ
تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَاْلعُدْوَانِ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ
شَدِيْدُ اْلعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.”
Sesungguhnya apa yang diperintahkan oleh Allah merupakan sesuatu yang hak
dan mutlak. Dari segala sikap yang kita ambil hendaklah sesuai dengan
ketentuan-Nya. Dapat kita tarik kesimpulan bahwa, ketika kita menolong
seseorang terlebih itu tetangga sendiri dalm suatu kebaikan, maka akan menambah
ketentraman di hati karena dapat melonggarkan urusan tetangga.
Selain hal itu, dengan membantu tetangga maka secara otomatis mampu
mempererat tali persaudaraan. Namun, bila kita membantu dalam hal keburukan,
maka hal tersebut sesungguhnya hanya menambah beban hati dan fikiran. Karena
kita tidak akan merasa tenang dengan apa yang kita lakukan tanpa keridhoan
Allah. Karena tolong menolong dapat mempererat tali silaturrahim, hal tersebut
sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ar-Ra’d:21 sebagi berikut:
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَآأَمَرَ اللهُ بِهِ أَن يُوصَلَ
وَيَخشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang yang
menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka
takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.”
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan untuk menghubungkan apa-apa yang
harus dihubungkan. Yang dimaksud disini adalah menghubungkan tali silaturrahim
dan tali persaudaraan. Jika hal ini dipegang teguh oleh umat islam, maka
tiadalah perpecahan antara umat islam. Tidak ada pemberontakan, permusuhan dan
perseteruan yang dewasa ini banyak memakan korban jiwa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari Pembahasan yang
telah dijelaskan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Niat itu
termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati.
2.
Disyaratkannya
niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus dita`yin (ditentukan) yakni bila
seseorang ingin shalat maka ia harus menentukan dalam niatnya shalat apa yang
akan ia kerjakan apakah shalat sunnah atau shalat wajib, dhuhur, atau ashar,
dst. Bila ingin puasa maka ia harus menentukan apakah puasanya itu puasa
sunnah, puasa qadha atau yang lainnya.
3.
Amal tergantung
dari niat, tentang sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau maksiat.
4.
Islam merupakan agama
yang sungguh rahmatan lil ‘alamin, dan islam lah yang banyak
mengajarkan kepada kita tentang akhlak terpuji, dari hadis yang telah
dijelaskan di atas bahwa berkata baik atau diam merupakan salah satu bentuk
akhlak terpuji sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Saw.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Fauzan. 1998. Kitab Tauhid I. Jakarta: Darul
Haq.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi 2002. Mutiara
Hadis 1. Semarang: Pustaka RIzky Putra.
Kuraedah,St. 2008. Hadis Tarbawi. Kendari:
Istana Profesional.
Noer, Jefry. 2006. Shalat Yang Benar. Jakarta:
Prenada Media.
Qosim, Amjad. 2008. Hafal al-Quran Dalam Sebulan. Solo:
Qiblat Press.
Shabir, Muslilich. 2004. Terjemahan Riadu
Shalihin. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Syafe’I, Rachnat. 2000. Al-Hadis. Bandung:
Pustaka Setia.
Thalib, M. Butir-Butir Pendidikan Dalam Hadis. Surabaya:
al-Ikhlas.
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadis 1, (Semarang:
Pustaka RIzky Putra, 2002), hlm. 4.
[10] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadis 1, (Semarang:
Pustaka RIzky Putra, 2002), hlm. 6.
[12] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadis 1, (Semarang:
Pustaka RIzky Putra, 2002), hlm. 8.
[13]
Hadits riwayat Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Iman, Bab
Al-hatsu ‘ala ikromi al Jari wa ad-dhoifi wa luzumi as shumti illa an al-khoiri
wa kauni dzalik kulluhu min al iman (Beirut: Dar al-Fikri, 1992 M/1412 H), jld.
1, hal. 45.
[14]
Imam Abu Zakariya Syarif An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Kitab
Al-Ma’murat, Bab Al Haq Al Jarri wal Wasiyyatu bihi, (Beirut: Dar
al-Fikri, 1994 M/144 H), jld 1, hal. 73
[16] Imam Abu Zakariya Syarif An Nawawi, Riyadhus
Shalihin, Kitab Al-Ma’murat, Bab Al Haq Al Jarri wal Wasiyyatu
bihi, (Beirut: Dar al-Fikri, 1994 M/144 H), jld 1, hal. 73
[17] Husaini A. Majid Hasyim, Syarah
Riyadhus Shalihin, Terj. Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan (Surabaya: PT.
Bina Ilmu, Cet. III, 2006), jld. 1, hal. 504.
[18] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Barri, Terj.
Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), jld 1, hal 90
[19] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir
al-Maraghi, Terj. Bahrun Abubakar dan Hery Noer Aly (Semarang:
CV. Toha Putra, 1992), jld. 5, hal. 55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar