PENDAHULUAN
Historiografi
adalah corak penulisan sejarah yang banyak ditulis oleh para pujangga karya-karya mereka bertujuan untuk melegitimasi kedudukan raja yang mempunyai ciri-ciri magis, religius, bersifat sakral, menekankan pada mitologi yang bersifat
anakronisme, etnosentrisme, dan berfungsi sosial psikologis untuk memberi
kohesi pada suatu masyarakat tentang kebenaran suatu dinasti.
Bangsa
Indonesia telah lama memiliki kesadaran sejarah. Bukti kesadaran ini ditunjukkan oleh banyaknya karya naskah yang bersebaran di daerah-daerah Indonesia. Naskah-naskah tersebut merupakan bagian awal dari perkembangan penulisan sejarah di Indonesia.
Awal
perkembangan penulisan sejarah di Indonesia dimulai dengan adanya penulisan
sejarah dalam bentuk naskah. Beberapa sebutan untuk naskah-naskah yaitu babad,
hikayat, kronik, tambo, dan lain-lain. Bentuk penulisan sejarah pada
naskah-naskah tersebut, sebagaimana telah dikemukakan, termasuk dalam kategori
historiografi tradisional. Sebutan historiografi tradisional, untuk
membedakannya dengan historiografi modern. Historiografi modern sudah lebih
dahulu berkembang di Barat.
PEMBAHASAN
A.Perkembangan Corak Penulisan Sejarah
Mulai dari masa awal pertumbuhan
historiografi Islam hingga masa munculnya sejarawan-sejarawan besar tersebut
diatas, penulisan sejarah dalam karya-karya sejarah mereka dapat dikelompokkan
menjadi 3 bagian, yaitu corak khabar, corak hawliyat (kronologi
berdasarkan tahun), dan corak mawdhu’iyat (tematik)
1.
Khabar
Sejarawan muslim pada mulanya
menulis sejarah disandarkan pada riwayat, yang sebagaimana dalam penulisan
hadis, dengan menggunakan sanad. Beberapa ciri berkenaan dengan
riwayat-riwayat itu:[1]
a.
Antara satu riwayat dan riwayat lain tidak ada hubungan, masing-masing
berdiri sendiri
b.
Riwayat itu ditulis dalam bentuk cerita (kisah) yang biasanya dalam
bentuk dialog.
c.
Riwayat-riwayat itu diselang-selangi dengan syair yang seringkali
digunakan sebagai penguat kandungan khabar itu.
Setengah abad setelah wafatnya Rasulullah
SAW kaum muslimin belum melahirkan tradisi menulis. Pada masa itu riwayat
berpindah dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi
berikutnya melalui tradisi lisan. Tradisi lisan yang mengambil bentuk riwayat
inilah yang pertama kali muncul. Para sejarahwan mengumpulkan riwayat-riwayat
itu dan menulisnya bersumber dari ingatan dan hapalan yang memang orang arab
dikenal kuat. Baru pada abad ke-2 H, para sejarahwan ada yang menulis karya
sejarah dengan bersumber kepada tuliasan-tulisan para penulis sebelumnya. Pada
masa-masa awal kebangkitan sejarah ini, para sejarahwan muslim yang secara
berangsur-angsur melepaskan diri dari pengaruh penulisan hadits yang sangat
kuat menggunakan sanad. Pada waktu itu para sejarawan tidak lebih dari
sekedar pemberi riwayat (perawi) and menuliskannya dalam tulisan. Riwayat
yang berdiri sendiri itulah dalam ilmu sejarah yang dinamakan dengan khabar.
Al-Thabari dan para sejrahwan
sebelumnya sangat memperhatikan persoalan sanad, persambungan para
penyampai khabar. setelah masa al-Thabari muncul para sejarawan yang
menggunakan penyebutan sanad dalam menulis sejarah.
Mereka merasa cukup dengan hanya
manyebutkan matan (teks) khabar-khabar itu di dalam
tulisan-tulisan sejarah mereka. Di antara mereka adalah al-Ya’qubi (w.284 H)
dan al-Mas’udi (w.346 H). mereka menganggap ini adalah cukup apabila disebutkan
sumber-sumber pengambilan data-data sejarah itu di pendahuluan karya-karya
mereka, yang kadang-kadang juga diikuti dengan kajian kritis terhadap
sumber-sumber itu, sebagaimana yang dilakukan al-Mas’udi di dalam bukunya yang
berjudul Muruj al-Dzahab.[2] Dalam pendahuluan bukunya itu ia memuji karya sejarah al-Thabari
dan mengkritik pedas Sinan bin Tsabit bin Qurrah al-Harani. Ketika memuji
al-Thabari, al-Mas’udi menulis:
“Karya sejarah Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, sebuah
karya cemerlang melebihi karaya-karya sejarah yang lain, telah menghimpun
bermacam-macam khabar, meliputi berbagai peninggalan, berisi beragam
ilmu. Kitab ini adalah sebuah karya yang mempunyai faedah besar, sangat
bermanfaat. Bagaimana tidak, pengarangnya adalah seorang ahli fiqih, ahli hukum
islam pada masanya, yang sangat rajin beribadah, yang dapat dikatakan bahwa ia
adalah orang yang paling menguasai ilmu pada masanya, dan lebih dari itu ia
adalah seorang ahli hadits”.
Ketika mengkritik Sinan bin Tsabit
bin Qurrah al-Harani, ketika ia menjiplak karangan orang lain (plagiat), dan
menggunakan metode orang lain juga, dia telah mengarang tulisan yang dijadikan
surat kepada beberapa orang temannya yang juga adalah para penulis.[3]
2.
Hawliyat
Kalau sebenarnya para sejarawan Islam menulis peristiwa-peristiwa
sejarah itu secara acak dan tidak berurutan (kronlogis), dalam perkembangan
seterusnya para sejarawan kemudian menggunakan dua metode penulisan, yaitu:
a.
Metode penulisan sejarah berdasarkan urutan tahun (al-Tharikh
al-Hawli, atau al-Tharikh ‘ala al-Sinin, atau yang lebih singkat Hawliyat,
annalistic form.
b.
Metode penulisan sejarah berdasarkan tema (tematik).[4]
Yang dimaksud dengan hawliyat
adalah metode penulisan sejarah yang menggunakan pendekatan tahun demi tahun.
Dalam metode ini, bermacam-macam peristiwa sejarah dihimpun dibawah “tema”
tahun. Dalam metode ini peristiwa-peristiwa yang banyak terjadi pada tahun
tertentu dihubungkan dengan kata-kata wa fiha (dan pada tahun itu juga).
Apabila peristiwa-peristiwa yang terjadi pada satu tahun itu telah habis
dipaparkan sejarawan beralih ke tahun berikutnya dengan menggunakan kata-kata tsumma
dakhalat sanah… (kemudian masuk tahun…) atau tsumma ja’a fi sanah…
(kemudian terjadi peristiwa … pada tahun…).
Al-Thabari, salah seorang tokoh
besar dan rujukan sejarawan Islam, oleh banyak pemerhati historiografi Islam
sering dipandang sebagai sejarawan muslim pertama yang menghasilkan metode hawliyat,
yang menulis di dalam karya sejarahnya Tharikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah
Para Rasul dan Para Raja) yang juga dikenal dengan judul lain Tharikh al-Umam
wa al-muluk (Sejarah Umat-Umat dan Raja-Raja), sejak tahun pertama Hijrah
sampai tahun 302 H.[5]
Namun, Rosenthal meragukan bahwa
al-Thabari adalah sejarawan pertama yang menggunakan metode hawliyat
dalam menulis sejarah. Hal itu karena Rhosenthal, ada isyarat bahwa para
sejarawan muslim sebelum al-Thabari sudah ada yang menggunakan metode hawliyat,[6] di
antaranya adalah Abu ‘Isa ibn al-Munajjim (w. 279 H) yang menulis karya
sejarahnya sebelum al-Thabari menulis karya sejarah. Kitab Abi ‘Isa ibn
al-Munajjim itu berjudul Tharikh Sini al-‘Alam (Sejarah dunia
berdasarkan tahun). Sesuai dengan judulnya, ada kemungkinan,
peristiwa-peristiwa sejarah itu disusun berdasarkan tahun. Sejarawan lainnya,
adalah Muhammad ibn Yazdad yang sejauh disebutkan oleh ibn Nadim, menulis
sebuah buku yang kemudian disempurnakan oleh anaknya, ‘Abdullah, sampai tahun
300 H. dari ibn Nadim, Rosenthal memahami bahwa buku Muhammad ibn Yazdad telah
menggunakan metode hawliyat.[7]
Untuk menguatkan pendapatnya itu, Rosenthal juga mengatakan bahwa Muhammad Musa
al-Khawarizmi yang hidup pada pertengahan pertama abad ke-4 H juga sudah menggunakan metode ini. Hal
itu, menurutnya, terlihat pada karya sejarah Hamzah al-Ashfahani dan Ilyas
al-Nushaybi yang keduanya mengandung beberapa kutipan dari karya sejarah
Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi tersebut.
Hal lain yang menunjukkan bahwa
al-Thabari bukanlah sejarawan pertama yang menggunakan metode hawliyat,
menurutnya, adalah bahwa al-Haytsam ibn ‘Adi (w. 206 H) mengarang buku sejarah
dengan menggunakan metode itu dengan judul Kitab al-Tharikh ‘ala al-Sinin.[8]
Hal ini menunjukkan bahwa penulisan sejarah yang menggunakan metode hawliyat
sudah dikenal di Irak pada pertengahan kedua abad ke-2 H. juga dinyatakan
di dalam al-Fihrasat karya ibn al-Nadim bahwa Ja’far ibn Muhammad ibn
al-Azhar (w. 276 H) mengarang kitab sejarah yang disusun berdasarkan urutan
tahun.
Lebih jauh Rosenthal berpendapat
bahwa metode penulisan sejarah berdasar tahun (hawliyat) ini bukanlah
temuan sejarawan muslimin. Metode ini, menurutnya, sudah dikenal di dalam karya
karya sejarah Yunani. Metode hawliyat Yunani ini banyak kesamaan dengan
metode yang digunakan oleh sejarawan muslim. Di antara karya sejarah Yunani
yang menggunakan metode hawliyat adalah karya Ioanes Malalas,
sebagaimana juga karya sejarah Siryani yang menggunakan metode itu diwakili
oleh karya yang ditulis oelh Ya’qub al-Rahawi (pada abad pertama Hijrah).
Metode hawliyat seperti ini masuk pertama kali dan dipergunakan oleh
sejarawan muslim yang pertama melalui hubungan mereka dengan para ilmuwan. Kristen
asal Siryani dan kemudian disusul oleh melalui bacaan mereka terhadap
sumber-sumber asli Yunani secara langsung.[9]
Menurut Rosenthal, adalah tidak penting untuk mengetahui buku apa yang secara
langsung mempengaruhi sejarawan Arab tentang metode hawliyat ini, karena
metode ini memang sangat mudah berpindah dan diikuti oleh orang lain, misalnya
melalui bacaan dan bisa juga melalui dialog atau diskusi antara sejarawan
muslim dengan sejarawan Kristen. Komunikasi antara kaum muslimin dengan
penganut agama Kristen cukup kuat khususnya di Syria, katena mereka di sana
hidup bersama dan diikat oleh ikatan-ikatan sosial yang kuat.
Singkatnya, dalam pandangan
Rosenthal ,sejarawan muslim mendapat inspirasi tentang metode hawliyat
dalam penulisan sejarah , dari sejarawan Yunani dan Siryani,padahal, menurut
Abd al-Aziz Salim, karya-karya tulis Yunani dan Siryani pada waktu itu belum
mempengaruhi sejarawan muslim, apa yang mereka kutib dari mereka terbatas dalam
masalah- masalah yang berkaitan dengan ilmu filsafat, matematika, falak,
geografi, kimia, kedokteran, dan obat-obatan.[10]
Kemudian sejarawan-sejarawan Arab menciptakan metode ini dan mengembangkannya
melebihi apa yang mereka temukan dari sumber-sumber asli. Perkembangan itu
dipermudah oleh banyaknya materi sejarah sepanjang masa kekuasaan Islam. Orang-orang
Islam banyak mengambil manfaat dari bangsa-bangsa yang mereka kalahkan.
Meskipun demikian, Rosenthal sendiri meragukan adanya hubungan yang kuat antara
ilmu sejarah Yunani-Siryani dengan ilmu sejarah ‘Arab, dan kita, kata “Abd
al-Aziz Salim, tidak yakin bahwa ilmu sejarah Arab (Islam) yang menggunakan
metode hawliyat diambil langsung dari karya-karya sejarah Yunani, karena
karya-karya sejarah orang Yunani itu diketahui sejarawan muslim melalui Siryani
dengan perantaraan orang-orang Kristen, dan karya-karya itu tidak ada
hubungannya dengan metode hawliyat.[11]
‘Abd al-Hamid al-Ibadi yakin betul
bahwa penulisan materi sejarah berdasarkan tahun, bulan dan hari, jelas, hanya
digunakan oleh sejarawan muslim, tidak ada hubungannya dengan sejarawan Yunani,
Romawi, atau Eropa pada abad pertengahan. Sayyidah Kasyif juga berpendapat
demikian. Menurutnya historiografi Siryani sama sekali tidak berpengaruh
terhadap sejarawan muslim, meskipun di Raha, Nisiban, dan Jundishapur terdapat
sekolah-sekolah yang menerjemahkan karya-karya Yunani. Kalau pun ada pengaruh
dari luar terhadap sejarawan muslim, pengaruh itu, menurutnya, daatng dari
karya-karya sejarah Persia, khususnya tentang sejarah klasik Iran.[12]
Yang jelas, setelah al-Thabari,
metode hawliyat ini banyak digunakan oleh sejarawan muslim, yang
terpenting di antaranya adalah Miskawayh, ibn al-Jawzi, ibn al-Atsir, Abu al-Fida’,
dan al-Dzahabi.
Pada masa-masa berikutnya, penulisan
sejarah Islam yang menggunakan metode hawliyat itu mengalami
perkembangan, yaitu ketika para sejarawan muslim, merasa membutuhkan bentuk
susunan materi sejarah yang baru sebagai tambahan, yaitu disusun dalam urutan
masa yang lebih lama dan panjang. Oleh karena itulah, Abu Abdillah Muhammad ibn
Ahmad al-Dzahabi (673-748 H) dalam karya besarnya yang berjudul Tharikh
al-Islam yang terdiri atas 21 jilid besar, yang dimulai dengan sejak awal
kebangkitan Islam sampai awal abad ke-2 H, peristiwa-peristiwa sejarah disusun
berdasarkan sepuluh tahunan (tidak lagi pertahun) yang dalam bahasa Arab
disebut dengan nizham al-‘uqud (sistem berdasarkan decade/dasawarsa).
Pembabakan berdasarkan dasawarsa ini banyak sejarahnya dengan corak penulisan al-Thabaqat
dan al-Tarajjim.[13]
Bahkan pembabakan berdasarkan abad (al-taqsim
hasb al-Qurun) juga muncul dan berkembang terutama melalui karya-karya al-Thabaqat
dan al-Tarajjim,[14]
seperti buku al-Hawadits al-Jami’ah fi A’yan al-Mi’ah al-Tsaminah karya ibn
Hajar al-Asqalani, kitab al-Dhaw al-Lam fi’Rijal al-Qarn al-Tasi’ karya
al-Sakhawi,kitab al-Nur al-Safir fi Akbar al-Qarn al-Asyir karya ibn
al-Aydrus,al-Kawakib al-Sa’irah fi A’yan al-Mi’ah al-Asyirah karya
al-ghazali,kitab Nakhbah al-Zaman fi A’yan al-Qarn al-Hadi ‘Asyar karya al-muhibbi ,dan Nuzhah al-Hadi
bi Akhbar Muluk al-Qarn al-Hadi karya Muhammad al-shaghir.Buku-buku ini
ada yang menggunakan sistematika penulisan berdasarkan tahun dan ada juga yang
berdasarkan huruf hija’iyah (alpabetis).
3.Kritik terhadap Metode Hawliyat
dan Munculnya Corak Tematik.
Metode hawliyat mengandung
kelemahan karena ia memutus kontinuitas sejarah yang panjang yang saling
berhubungan, yang berkelanjutan dalam beberapa tahun. Sejarawan yang memakia
metode ini tidak menyebutkan peristiwa-peristiwa sejarah kecuali yang terjadi
pada tahun bersangkutan dan berkelanjutan pada tahun—tahun berikutnya. Maka
peristiwa itu terpisah-pisah, informasi yang terpisah-pisah itu kemudian
digabungkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun itu. Seorang
sejarawan besar telah mengkritik metode ini, Ali ibn Muhammad ibn Abd al-Karim
ibn Abd al-wahid al-Syaybani, yang dikenal dengan ibn al-Atsir al-Juzuri yang
bergelar Izz al-Din (555 H-630 H). pada pendahuluan karyanya yang berjudul al-Kamil
fi al-Tharikh, dia berkata:
“Saya melihat bahwa mereka (maksudnya sejarawan yang menggunakan
metode hawliyat ini, seperti al-Thabari), menuliskan satu peristiwa (yang
berlangsung lama secara terpisah-pisah) pada beberapa tahun dan menyebutkan
banyak peristiwa pada satu tahun tertentu. Oleh karena itu, satu peristiwa
terputus-putus sehingga tidak mencapai sasaran yang dibutuhkan dan tidak dapat
dipahami kecuali setelah penelaahan yang serius. Oleh karena itu saya
mengumpukan satu peristiwa pada satu tema, dan saya menyebutkan pada bulan dan
tahun beberapa peristiwa-peristiwa itu tejadi. Oleh karena itu, tulisan seperti
ini menjadi tersusun secara tematis dan kronologis sekaligus. Sebagian dan
bahkan ada yang membutuhkan pembicaraan pada tahun tertentu sepanjang tahun.
Setiap peristiwa yang besar yang masyhur mendapat perhatian khusus. Adapun
peristiwa-peristiwa kecil yang tidak perlu perhatian khusus, maka peristiwa-peristiwa
itu saya himpun tersendiri dan saya letakkan diakhir setiap tahun, dibawah
judul dzikr ‘iddah al-hawadits (tentang beberapa peristiwa). Kalau saya
menyebutkan sebagian tokoh atau raja disuatu wilayah yang masa kekuasaannya
tidak panjang, maka saya menyebutkan awal perkara itu, karena kalau saya
pisah-pisahkan berdasarkan “tahun”, maka orang yang tidak mengetahui sebelumnya
tidak akan memahaminya dengan baik. Saya menyebutkan diakhir setiap tahun
tentang tokoh-tokoh terkenal yang wafat pada tahun bersangkutan,seperti
ulama,penguasa dan tokoh-tokoh lain.ketika itu saya juga menjelaskan nama-nama
yang sama atau berdekatan tetapi tokohnya berbeda,atau tulisan arabnya sama
tetapi bacaannya berbeda. itu semua saya jelaskan agar orang dapat
membedakannya dan tidak mengalami kerancuan.
Ibn al-Atsir telah
berusaha menghindarkan diri dari kelemahan metode hawliyat. untuk itu ia
menghimpun unsure-unsur peristiwa yang berkelanjutan dalam beberapa tahun, dan
menghubungkan bagian-bagiannya dalam satu tahun tertentu dalam satu tema
sehingga peristiwa itu menjadi jelas dan dapat dipahami. Unsure-unsurnya
disusun secara kronologis dengan baik. Akan tetapi, tidak semua peritiwa dapat
dilakukan seperti itu; seperti pemberontakan Zant yang berlangsung sangat lama,
sekitar 14 tahun. Peristiwa ini terpisah-pisah didalam beberapa “tahun”,
sebagaimana yang dilakukan al-Thabari.
Disamping itu, ibn
al-Atsir sangat memperhatikan kemudahan bagi para pembaca, yaitu denga member
judul bagi peristiwa-peristiwa yang menggambarkan isinya. Kadang-kadang
peristiwa-peristiwa kecil, yang terjadi pada tahun yang sama dihimpun dibawah
judul dzikr ‘iddah al-hawadits (tentang beberapa peristiwa lainnya) dan
diakhiri dengan riwayat hidup tokoh-tokoh yang meninggal dunia pada tahun
tersebut.
Penulis besar
lainnya, Syihab al-Din Ahmad ibn Abd al-Wahhab al-Nuwayri (w. 732 H), juga
mengkritik metode hawliyat dan menulis sejarah berdasarkan tema. Di
dalam karya sejarahnya, ketika memaparkan sejarah dinasti-dinasti-dinasti, ia
menulis dinasti setelah dinasti lainnya.. dalam hal ini, dia tidak beralih ke
dinasti itu tuntas ditulisnya. Dalam menulis satu dinasti itu dia tetap
menggunakan metode hawliyat dalam memaparkan peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada dinasti itu. Setelah itu, barulah diaberalih ke dinasti yang lain.
Dalam hal ini dia
berkata, “Ketika saya melihat bahwa para sejarawan muslim menulis sejarah
dengan metode hawliyat, tidak dengan menggunakan pendekatan dinasti,
saya menyadari bahwa hal yang demikian itu akan menyulitkan para pembaca untuk
memahami, terutama berkenaan dengan peristiwa yang yang tidak selesai pada satu
tahun. Peristiwa yang tidak selesai pada satu tahun itu dituangkan dalam satu
“tahun” tanpa harus memperhatikan apakah informasi tentang peristiwa itu sudah
sempurna atau belum. Peristiwa-peristiwa itu dipaparkan demikian saja tanpa
menyebutkan secara utuh meskipun ringkas, apalagi rinci. Setelah itu sejarawan
beralih ke “tahun” berikutnya dengan memaparkan peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada tahun itu, raja-raja dan peninggalannya, dinasti dan
perjalanannya, keadaan tertentu, dan peristiwa-peristiwa lain. Dalam hal ini
sejarawan juga menuangkan peristiwa itu secara acak, berpindah-pindah dari
timur ke barat, dari selatan ke utara, dari keadaan damai ke keadaan
peperangan, dan begitu seterusnya. Bagi pembaca yang ingin mengetahui satu
peristiwa, maka ia harus membaca dengan teliti paparan yang panjang dengan
lelah.
Walaupun ibn
al-Atsir dan Syihab al-Din Ahmad ibn Abd al-Wahhab al-Nuwayri melontar kritikan
terhadap corak penulisan hawliyat dan mengajukan cara tematik sebagai
alternative, mereka berdua bukan sejarawan pertama dalam Islam yang menggunakan
corak penulisan sejarah secara tematik (maudhu’iyyat atau hasb
al-maudhu’at). Jauh sebelum mereka, sebagaimana telah disebutkan di atas,
al-Ya’qubi (wafat di Mesir pada tahun284/897 H) dan al-Mas’udi (w. 957 M) sudah
menggunakan corak tematik itu di dalam karya-karya sejarah mereka.
B. Perkembangan Langgam Bahasa dalam Karya Sejarah
Kalau dari segi
teknik penulisan (at-thariqah), penulisan sejarah terus mengalami
perkembangan, dalam bidang langgam bahasa ia juga mengalami perkembangan. Pada
mulanya karya-karya sejarah, sebagian besarnya, menghimpun khabar-khabar
itu dalam bentuk kalimat-kalimat pendek yang kering, yang tidak berkaitan satu
sama lainnya. Dalam perkembangannya, langgam bahasa sejarah menjadibebas,
sederhana, jelas, hampir-hampir tidak ada lagi syair di dalamnya.
Banyak juga yang
menggunakan sajak ((kalimat-kalimat yang digunakan di dalam bersajak) dalam
tulisan sejarah, meskipun sejarah sama sekali bukan cabang dari susastra yang
biasanya menggunakan sajak. Diantara para sejarawan yang terkenal banyak menggunakan
sajak dalam karya-karya sejarahnya adalah al-‘Imad al-Ashbahani dan al-Fath ibn
Khaqan, seorang sejarawan asal Andalus.
Ada juga sejarawan
muslim yang menggabungkan antara tulisan bebas (prosa) dan kalimat-kalimat
bersajak, seperti Abu Marwan Hayyan bin Khalaf asal Andalus. sementara yang
lainnya, ada juga yang dalam sejarahnya menggunakan bahasa yang mudah
dipahami, sederhana, dengan berusaha menghindari bahasa-bahasa yang dibuat-buat
agar enak didengar dan lafal-lafal yang berbelit-belit. Di terpenting adalah
jelasnya materi sejarah dengan kalimat-kalimat pendek, yang pengertiannya jelas
dan cepat dipahami oleh pembaca.[15]
Pada masa-masa
yang lebih akhir tulisan-tulisan sejarah banyak dirasupi oleh kata-kata asing
atau logat-logat daerah tertentu. Pada abad ke-9 dan 10 H, logat-logat daerah
semakin banyak ditemui. Di antara sejarawan yang banyak memasukkan kata-kata
asing dan logat-logat daerah itu adalah ibn ‘Ilyas (w. 930 H), sejarawan muslim
asal Mesir, di dalam karya sejarahnya yang berjudul Bada’I al-Zhuhur
fi Bada’I al-Duhur, Abu al-Mahasin ibn Taghri Bardi, juga seorang sejarawan
asal Mesir, dalam karya sejarahnya yang berjudul al-Nujum al-Zhahirah fi
Muluk Mishr wa al-Qabirah, dan ibn al-Furat di dalam karya sejarahnya yang
berjudul Tharikh al-Duwal wa al-Muluk.[16]
PENUTUP
Kesimpulan
Penulisan sejarah dalam karya-karya
sejarah mereka dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu corak khabar, corak hawliyat
(kronologi berdasarkan tahun), dan corak mawdhu’iyat (tematik).
1)
Khabar
Sejarawan muslim pada mulanya
menulis sejarah disandarkan pada riwayat, yang sebagaimana dalam penulisan
hadis, dengan menggunakan sanad. Beberapa ciri berkenaan dengan
riwayat-riwayat itu. Antara satu riwayat dan riwayat lain tidak ada hubungan,
masing-masing berdiri sendiri
d.
Riwayat itu ditulis dalam bentuk cerita (kisah) yang biasanya dalam
bentuk dialog.
e.
Riwayat-riwayat itu diselang-selangi dengan syair yang seringkali
digunakan sebagai penguat kandungan khabar itu.
2)
Hawliyat
dua metode penulisan, yaitu:
a.Metode penulisan sejarah berdasarkan urutan tahun (al-Tharikh
al-Hawli, atau al-Tharikh ‘ala
al-Sinin, atau yang lebih singkat Hawliyat, annalistic form.
b.Metode penulisan sejarah berdasarkan tema (tematik).
Metode hawliyat mengandung
kelemahan karena ia memutus kontinuitas sejarah yang panjang yang saling
berhubungan, yang berkelanjutan dalam beberapa tahun. Kalau dari segi teknik
penulisan (at-thariqah), penulisan sejarah terus mengalami perkembangan,
dalam bidang langgam bahasa ia juga mengalami perkembangan. Pada mulanya
karya-karya sejarah, sebagian besarnya, menghimpun khabar-khabar itu
dalam bentuk kalimat-kalimat pendek yang kering, yang tidak berkaitan satu sama
lainnya. Dalam perkembangannya, langgam bahasa sejarah menjadibebas, sederhana,
jelas, hampir-hampir tidak ada lagi syair di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Kasyif Sayyidah Ismail. 1976. Mashadir al-Tharikh
al-Islam wa-Manahij al- Babts Fih, Kairo: Maktabah al-Khanji.
Ibrahim
Hasan. 2001. Tharikh al-Islam Tsaqafiwa a-Ijtima, Jakarta: Kalam Mulia.
Aziz al
Abd. 1960. Al-Bahts fi Nasyi’ahlim
al-Tharikh ‘ind al-‘Arab, Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah.
Abdullah,Yusri
Abd-Ghani. 2004. Historiografi Islam dari Klasik Hingga Modern,
terjadi Mu’jam al Muarrikhin al-Muslimin oleh Sudrajat, Jakarta: Raja Grafindo.
Mukti
Ali. 1962. Filsafat Islam TentangSejarah, Jakarta: Tintamas.
[1] Abd
al-Aziz Salim, al-Tharikh wa al-Mu’arrikhun al-‘Arab, (Beurit: Dar
al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1986), h. 75.
[2]
‘Abd al-Aziz Salim, op.cit, h. 76. Lihat juga al-Mas’udi, Muruj
al-Dzahab, Jilid I, (Beurit: Dar al-Fikr, 1973), h. 15.
[3]
‘Abd al-Aziz Salim, Ibid, h. 76.
[4] Abd
Aziz Salim, Op. cit. h. 82.
[5] Ibid,
h. 85. Tentang riwayat hidup al-Thabari.
[6]
Franz Rosenthal, Op. cit, (Leiden: E.J. Brill, 1968), h. 102 dan
seterusnya.
[7] Ibid,
h. 104.
[8] Ibid,
Lampiran 1, h. 174; ‘Abd al-Aziz al-Duri, op. cit, h. 32.
[9]
Franz Rosenthal, op. cit, h. 151; ‘Abd al-Aziz Salim, op. cit, h.
88. Baca juga Oeleary, Masalik al-Tsaqafah al-Ighriqiyyah ila al-‘Arab,
diterjemahkan Taman Hassan, (Kairo:, 1957), h.3.
[10] Abd al-‘Aziz Salim, op. cit, h. 89. Baca juga Oelery, ibid.
[11] ‘Abd
al-Aziz Salim, op. cit, h. 89; Franz Rosenthal, op. cit, h. 112.
[12]
Sayyidah Kasyif, op. cit, h. 50.
[13] Abd
al-Aziz Salim, op. cit, h. 90. Tentang al-Sirah, al-Thabaqat,
dan al-Tarajjim.
[14] Ibid,
h. 91
[15] Abd
Aziz Salim, loc. Cit.
[16]
Nashir al-Din Muhammad ibn Abd al-Rahim ibn al-Furut. Karya sejarahnya ini
dikenal dengan nama Tharikh ibn al-Furat, disunting oleh Qasthanthin
Zurayq (Beurit: 1938).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar