Selasa, 16 Juni 2015

makalah historiografi perkembangan corak penulisan islam

PENDAHULUAN

Historiografi adalah corak penulisan sejarah yang banyak ditulis oleh para pujangga karya-karya mereka bertujuan untuk melegitimasi kedudukan raja yang mempunyai ciri-ciri magis, religius, bersifat sakral, menekankan pada mitologi yang bersifat anakronisme, etnosentrisme, dan berfungsi sosial psikologis untuk memberi kohesi pada suatu masyarakat tentang kebenaran suatu dinasti.


Bangsa Indonesia telah lama memiliki kesadaran sejarah. Bukti kesadaran ini ditunjukkan oleh banyaknya karya naskah yang bersebaran di daerah-daerah Indonesia. Naskah-naskah tersebut merupakan bagian awal dari perkembangan penulisan sejarah di Indonesia.
Awal perkembangan penulisan sejarah di Indonesia dimulai dengan adanya penulisan sejarah dalam bentuk naskah. Beberapa sebutan untuk naskah-naskah yaitu babad, hikayat, kronik, tambo, dan lain-lain. Bentuk penulisan sejarah pada naskah-naskah tersebut, sebagaimana telah dikemukakan, termasuk dalam kategori historiografi tradisional. Sebutan historiografi tradisional, untuk membedakannya dengan historiografi modern. Historiografi modern sudah lebih dahulu berkembang di Barat.



PEMBAHASAN
A.Perkembangan Corak Penulisan Sejarah
Mulai dari masa awal pertumbuhan historiografi Islam hingga masa munculnya sejarawan-sejarawan besar tersebut diatas, penulisan sejarah dalam karya-karya sejarah mereka dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu corak khabar, corak hawliyat (kronologi berdasarkan tahun), dan corak mawdhu’iyat (tematik)
1.      Khabar
Sejarawan muslim pada mulanya menulis sejarah disandarkan pada riwayat, yang sebagaimana dalam penulisan hadis, dengan menggunakan sanad. Beberapa ciri berkenaan dengan riwayat-riwayat itu:[1]
a.       Antara satu riwayat dan riwayat lain tidak ada hubungan, masing-masing berdiri sendiri
b.      Riwayat itu ditulis dalam bentuk cerita (kisah) yang biasanya dalam bentuk dialog.
c.       Riwayat-riwayat itu diselang-selangi dengan syair yang seringkali digunakan sebagai penguat kandungan khabar itu.
Setengah abad setelah wafatnya Rasulullah SAW kaum muslimin belum melahirkan tradisi menulis. Pada masa itu riwayat berpindah dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui tradisi lisan. Tradisi lisan yang mengambil bentuk riwayat inilah yang pertama kali muncul. Para sejarahwan mengumpulkan riwayat-riwayat itu dan menulisnya bersumber dari ingatan dan hapalan yang memang orang arab dikenal kuat. Baru pada abad ke-2 H, para sejarahwan ada yang menulis karya sejarah dengan bersumber kepada tuliasan-tulisan para penulis sebelumnya. Pada masa-masa awal kebangkitan sejarah ini, para sejarahwan muslim yang secara berangsur-angsur melepaskan diri dari pengaruh penulisan hadits yang sangat kuat menggunakan sanad. Pada waktu itu para sejarawan tidak lebih dari sekedar pemberi riwayat (perawi) and menuliskannya dalam tulisan. Riwayat yang berdiri sendiri itulah dalam ilmu sejarah yang dinamakan dengan khabar.
Al-Thabari dan para sejrahwan sebelumnya sangat memperhatikan persoalan sanad, persambungan para penyampai khabar. setelah masa al-Thabari muncul para sejarawan yang menggunakan penyebutan sanad dalam menulis sejarah.
Mereka merasa cukup dengan hanya manyebutkan matan (teks) khabar-khabar itu di dalam tulisan-tulisan sejarah mereka. Di antara mereka adalah al-Ya’qubi (w.284 H) dan al-Mas’udi (w.346 H). mereka menganggap ini adalah cukup apabila disebutkan sumber-sumber pengambilan data-data sejarah itu di pendahuluan karya-karya mereka, yang kadang-kadang juga diikuti dengan kajian kritis terhadap sumber-sumber itu, sebagaimana yang dilakukan al-Mas’udi di dalam bukunya yang berjudul Muruj al-Dzahab.[2] Dalam pendahuluan bukunya itu ia memuji karya sejarah al-Thabari dan mengkritik pedas Sinan bin Tsabit bin Qurrah al-Harani. Ketika memuji al-Thabari, al-Mas’udi menulis:
“Karya sejarah Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, sebuah karya cemerlang melebihi karaya-karya sejarah yang lain, telah menghimpun bermacam-macam khabar, meliputi berbagai peninggalan, berisi beragam ilmu. Kitab ini adalah sebuah karya yang mempunyai faedah besar, sangat bermanfaat. Bagaimana tidak, pengarangnya adalah seorang ahli fiqih, ahli hukum islam pada masanya, yang sangat rajin beribadah, yang dapat dikatakan bahwa ia adalah orang yang paling menguasai ilmu pada masanya, dan lebih dari itu ia adalah seorang ahli hadits”.
Ketika mengkritik Sinan bin Tsabit bin Qurrah al-Harani, ketika ia menjiplak karangan orang lain (plagiat), dan menggunakan metode orang lain juga, dia telah mengarang tulisan yang dijadikan surat kepada beberapa orang temannya yang juga adalah para penulis.[3]
2.      Hawliyat
Kalau sebenarnya para sejarawan Islam menulis peristiwa-peristiwa sejarah itu secara acak dan tidak berurutan (kronlogis), dalam perkembangan seterusnya para sejarawan kemudian menggunakan dua metode penulisan, yaitu:
a.       Metode penulisan sejarah berdasarkan urutan tahun (al-Tharikh al-Hawli, atau al-Tharikh ‘ala al-Sinin, atau yang lebih singkat Hawliyat, annalistic form.
b.      Metode penulisan sejarah berdasarkan tema (tematik).[4]
Yang dimaksud dengan hawliyat adalah metode penulisan sejarah yang menggunakan pendekatan tahun demi tahun. Dalam metode ini, bermacam-macam peristiwa sejarah dihimpun dibawah “tema” tahun. Dalam metode ini peristiwa-peristiwa yang banyak terjadi pada tahun tertentu dihubungkan dengan kata-kata wa fiha (dan pada tahun itu juga). Apabila peristiwa-peristiwa yang terjadi pada satu tahun itu telah habis dipaparkan sejarawan beralih ke tahun berikutnya dengan menggunakan kata-kata tsumma dakhalat sanah… (kemudian masuk tahun…) atau tsumma ja’a fi sanah… (kemudian terjadi peristiwa … pada tahun…).
Al-Thabari, salah seorang tokoh besar dan rujukan sejarawan Islam, oleh banyak pemerhati historiografi Islam sering dipandang sebagai sejarawan muslim pertama yang menghasilkan metode hawliyat, yang menulis di dalam karya sejarahnya Tharikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Para Raja) yang juga dikenal dengan judul lain Tharikh al-Umam wa al-muluk (Sejarah Umat-Umat dan Raja-Raja), sejak tahun pertama Hijrah sampai tahun 302 H.[5]
Namun, Rosenthal meragukan bahwa al-Thabari adalah sejarawan pertama yang menggunakan metode hawliyat dalam menulis sejarah. Hal itu karena Rhosenthal, ada isyarat bahwa para sejarawan muslim sebelum al-Thabari sudah ada yang menggunakan metode hawliyat,[6] di antaranya adalah Abu ‘Isa ibn al-Munajjim (w. 279 H) yang menulis karya sejarahnya sebelum al-Thabari menulis karya sejarah. Kitab Abi ‘Isa ibn al-Munajjim itu berjudul Tharikh Sini al-‘Alam (Sejarah dunia berdasarkan tahun). Sesuai dengan judulnya, ada kemungkinan, peristiwa-peristiwa sejarah itu disusun berdasarkan tahun. Sejarawan lainnya, adalah Muhammad ibn Yazdad yang sejauh disebutkan oleh ibn Nadim, menulis sebuah buku yang kemudian disempurnakan oleh anaknya, ‘Abdullah, sampai tahun 300 H. dari ibn Nadim, Rosenthal memahami bahwa buku Muhammad ibn Yazdad telah menggunakan metode hawliyat.[7] Untuk menguatkan pendapatnya itu, Rosenthal juga mengatakan bahwa Muhammad Musa al-Khawarizmi yang hidup pada pertengahan pertama abad  ke-4 H juga sudah menggunakan metode ini. Hal itu, menurutnya, terlihat pada karya sejarah Hamzah al-Ashfahani dan Ilyas al-Nushaybi yang keduanya mengandung beberapa kutipan dari karya sejarah Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi tersebut.
Hal lain yang menunjukkan bahwa al-Thabari bukanlah sejarawan pertama yang menggunakan metode hawliyat, menurutnya, adalah bahwa al-Haytsam ibn ‘Adi (w. 206 H) mengarang buku sejarah dengan menggunakan metode itu dengan judul Kitab al-Tharikh ‘ala al-Sinin.[8] Hal ini menunjukkan bahwa penulisan sejarah yang menggunakan metode hawliyat sudah dikenal di Irak pada pertengahan kedua abad ke-2 H. juga dinyatakan di dalam al-Fihrasat karya ibn al-Nadim bahwa Ja’far ibn Muhammad ibn al-Azhar (w. 276 H) mengarang kitab sejarah yang disusun berdasarkan urutan tahun.
Lebih jauh Rosenthal berpendapat bahwa metode penulisan sejarah berdasar tahun (hawliyat) ini bukanlah temuan sejarawan muslimin. Metode ini, menurutnya, sudah dikenal di dalam karya karya sejarah Yunani. Metode hawliyat Yunani ini banyak kesamaan dengan metode yang digunakan oleh sejarawan muslim. Di antara karya sejarah Yunani yang menggunakan metode hawliyat adalah karya Ioanes Malalas, sebagaimana juga karya sejarah Siryani yang menggunakan metode itu diwakili oleh karya yang ditulis oelh Ya’qub al-Rahawi (pada abad pertama Hijrah). Metode hawliyat seperti ini masuk pertama kali dan dipergunakan oleh sejarawan muslim yang pertama melalui hubungan mereka dengan para ilmuwan. Kristen asal Siryani dan kemudian disusul oleh melalui bacaan mereka terhadap sumber-sumber asli Yunani secara langsung.[9] Menurut Rosenthal, adalah tidak penting untuk mengetahui buku apa yang secara langsung mempengaruhi sejarawan Arab tentang metode hawliyat ini, karena metode ini memang sangat mudah berpindah dan diikuti oleh orang lain, misalnya melalui bacaan dan bisa juga melalui dialog atau diskusi antara sejarawan muslim dengan sejarawan Kristen. Komunikasi antara kaum muslimin dengan penganut agama Kristen cukup kuat khususnya di Syria, katena mereka di sana hidup bersama dan diikat oleh ikatan-ikatan sosial yang kuat.
Singkatnya, dalam pandangan Rosenthal ,sejarawan muslim mendapat inspirasi tentang metode hawliyat dalam penulisan sejarah , dari sejarawan Yunani dan Siryani,padahal, menurut Abd al-Aziz Salim, karya-karya tulis Yunani dan Siryani pada waktu itu belum mempengaruhi sejarawan muslim, apa yang mereka kutib dari mereka terbatas dalam masalah- masalah yang berkaitan dengan ilmu filsafat, matematika, falak, geografi, kimia, kedokteran, dan obat-obatan.[10] Kemudian sejarawan-sejarawan Arab menciptakan metode ini dan mengembangkannya melebihi apa yang mereka temukan dari sumber-sumber asli. Perkembangan itu dipermudah oleh banyaknya materi sejarah sepanjang masa kekuasaan Islam. Orang-orang Islam banyak mengambil manfaat dari bangsa-bangsa yang mereka kalahkan. Meskipun demikian, Rosenthal sendiri meragukan adanya hubungan yang kuat antara ilmu sejarah Yunani-Siryani dengan ilmu sejarah ‘Arab, dan kita, kata “Abd al-Aziz Salim, tidak yakin bahwa ilmu sejarah Arab (Islam) yang menggunakan metode hawliyat diambil langsung dari karya-karya sejarah Yunani, karena karya-karya sejarah orang Yunani itu diketahui sejarawan muslim melalui Siryani dengan perantaraan orang-orang Kristen, dan karya-karya itu tidak ada hubungannya dengan metode hawliyat.[11]
‘Abd al-Hamid al-Ibadi yakin betul bahwa penulisan materi sejarah berdasarkan tahun, bulan dan hari, jelas, hanya digunakan oleh sejarawan muslim, tidak ada hubungannya dengan sejarawan Yunani, Romawi, atau Eropa pada abad pertengahan. Sayyidah Kasyif juga berpendapat demikian. Menurutnya historiografi Siryani sama sekali tidak berpengaruh terhadap sejarawan muslim, meskipun di Raha, Nisiban, dan Jundishapur terdapat sekolah-sekolah yang menerjemahkan karya-karya Yunani. Kalau pun ada pengaruh dari luar terhadap sejarawan muslim, pengaruh itu, menurutnya, daatng dari karya-karya sejarah Persia, khususnya tentang sejarah klasik Iran.[12]
Yang jelas, setelah al-Thabari, metode hawliyat ini banyak digunakan oleh sejarawan muslim, yang terpenting di antaranya adalah Miskawayh, ibn al-Jawzi, ibn al-Atsir, Abu al-Fida’, dan al-Dzahabi.
Pada masa-masa berikutnya, penulisan sejarah Islam yang menggunakan metode hawliyat itu mengalami perkembangan, yaitu ketika para sejarawan muslim, merasa membutuhkan bentuk susunan materi sejarah yang baru sebagai tambahan, yaitu disusun dalam urutan masa yang lebih lama dan panjang. Oleh karena itulah, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi (673-748 H) dalam karya besarnya yang berjudul Tharikh al-Islam yang terdiri atas 21 jilid besar, yang dimulai dengan sejak awal kebangkitan Islam sampai awal abad ke-2 H, peristiwa-peristiwa sejarah disusun berdasarkan sepuluh tahunan (tidak lagi pertahun) yang dalam bahasa Arab disebut dengan nizham al-‘uqud (sistem berdasarkan decade/dasawarsa). Pembabakan berdasarkan dasawarsa ini banyak sejarahnya dengan corak penulisan al-Thabaqat dan al-Tarajjim.[13]
Bahkan pembabakan berdasarkan abad (al-taqsim hasb al-Qurun) juga muncul dan berkembang terutama melalui karya-karya al-Thabaqat dan al-Tarajjim,[14] seperti buku al-Hawadits al-Jami’ah fi A’yan al-Mi’ah al-Tsaminah karya ibn Hajar al-Asqalani, kitab al-Dhaw al-Lam fi’Rijal al-Qarn al-Tasi’ karya al-Sakhawi,kitab al-Nur al-Safir fi Akbar al-Qarn al-Asyir karya ibn al-Aydrus,al-Kawakib al-Sa’irah fi A’yan al-Mi’ah al-Asyirah karya al-ghazali,kitab Nakhbah al-Zaman fi A’yan al-Qarn al-Hadi ‘Asyar  karya al-muhibbi ,dan Nuzhah al-Hadi bi Akhbar Muluk al-Qarn al-Hadi karya Muhammad al-shaghir.Buku-buku ini ada yang menggunakan sistematika penulisan berdasarkan tahun dan ada juga yang berdasarkan huruf hija’iyah (alpabetis).
3.Kritik terhadap Metode Hawliyat dan Munculnya Corak Tematik.
Metode hawliyat mengandung kelemahan karena ia memutus kontinuitas sejarah yang panjang yang saling berhubungan, yang berkelanjutan dalam beberapa tahun. Sejarawan yang memakia metode ini tidak menyebutkan peristiwa-peristiwa sejarah kecuali yang terjadi pada tahun bersangkutan dan berkelanjutan pada tahun—tahun berikutnya. Maka peristiwa itu terpisah-pisah, informasi yang terpisah-pisah itu kemudian digabungkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun itu. Seorang sejarawan besar telah mengkritik metode ini, Ali ibn Muhammad ibn Abd al-Karim ibn Abd al-wahid al-Syaybani, yang dikenal dengan ibn al-Atsir al-Juzuri yang bergelar Izz al-Din (555 H-630 H). pada pendahuluan karyanya yang berjudul al-Kamil fi al-Tharikh, dia berkata:
“Saya melihat bahwa mereka (maksudnya sejarawan yang menggunakan metode hawliyat ini, seperti al-Thabari), menuliskan satu peristiwa (yang berlangsung lama secara terpisah-pisah) pada beberapa tahun dan menyebutkan banyak peristiwa pada satu tahun tertentu. Oleh karena itu, satu peristiwa terputus-putus sehingga tidak mencapai sasaran yang dibutuhkan dan tidak dapat dipahami kecuali setelah penelaahan yang serius. Oleh karena itu saya mengumpukan satu peristiwa pada satu tema, dan saya menyebutkan pada bulan dan tahun beberapa peristiwa-peristiwa itu tejadi. Oleh karena itu, tulisan seperti ini menjadi tersusun secara tematis dan kronologis sekaligus. Sebagian dan bahkan ada yang membutuhkan pembicaraan pada tahun tertentu sepanjang tahun. Setiap peristiwa yang besar yang masyhur mendapat perhatian khusus. Adapun peristiwa-peristiwa kecil yang tidak perlu perhatian khusus, maka peristiwa-peristiwa itu saya himpun tersendiri dan saya letakkan diakhir setiap tahun, dibawah judul dzikr ‘iddah al-hawadits (tentang beberapa peristiwa). Kalau saya menyebutkan sebagian tokoh atau raja disuatu wilayah yang masa kekuasaannya tidak panjang, maka saya menyebutkan awal perkara itu, karena kalau saya pisah-pisahkan berdasarkan “tahun”, maka orang yang tidak mengetahui sebelumnya tidak akan memahaminya dengan baik. Saya menyebutkan diakhir setiap tahun tentang tokoh-tokoh terkenal yang wafat pada tahun bersangkutan,seperti ulama,penguasa dan tokoh-tokoh lain.ketika itu saya juga menjelaskan nama-nama yang sama atau berdekatan tetapi tokohnya berbeda,atau tulisan arabnya sama tetapi bacaannya berbeda. itu semua saya jelaskan agar orang dapat membedakannya dan tidak mengalami kerancuan.
            Ibn al-Atsir telah berusaha menghindarkan diri dari kelemahan metode hawliyat. untuk itu ia menghimpun unsure-unsur peristiwa yang berkelanjutan dalam beberapa tahun, dan menghubungkan bagian-bagiannya dalam satu tahun tertentu dalam satu tema sehingga peristiwa itu menjadi jelas dan dapat dipahami. Unsure-unsurnya disusun secara kronologis dengan baik. Akan tetapi, tidak semua peritiwa dapat dilakukan seperti itu; seperti pemberontakan Zant yang berlangsung sangat lama, sekitar 14 tahun. Peristiwa ini terpisah-pisah didalam beberapa “tahun”, sebagaimana yang dilakukan al-Thabari.
            Disamping itu, ibn al-Atsir sangat memperhatikan kemudahan bagi para pembaca, yaitu denga member judul bagi peristiwa-peristiwa yang menggambarkan isinya. Kadang-kadang peristiwa-peristiwa kecil, yang terjadi pada tahun yang sama dihimpun dibawah judul dzikr ‘iddah al-hawadits (tentang beberapa peristiwa lainnya) dan diakhiri dengan riwayat hidup tokoh-tokoh yang meninggal dunia pada tahun tersebut.
            Penulis besar lainnya, Syihab al-Din Ahmad ibn Abd al-Wahhab al-Nuwayri (w. 732 H), juga mengkritik metode hawliyat dan menulis sejarah berdasarkan tema. Di dalam karya sejarahnya, ketika memaparkan sejarah dinasti-dinasti-dinasti, ia menulis dinasti setelah dinasti lainnya.. dalam hal ini, dia tidak beralih ke dinasti itu tuntas ditulisnya. Dalam menulis satu dinasti itu dia tetap menggunakan metode hawliyat dalam memaparkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dinasti itu. Setelah itu, barulah diaberalih ke dinasti yang lain.
            Dalam hal ini dia berkata, “Ketika saya melihat bahwa para sejarawan muslim menulis sejarah dengan metode hawliyat, tidak dengan menggunakan pendekatan dinasti, saya menyadari bahwa hal yang demikian itu akan menyulitkan para pembaca untuk memahami, terutama berkenaan dengan peristiwa yang yang tidak selesai pada satu tahun. Peristiwa yang tidak selesai pada satu tahun itu dituangkan dalam satu “tahun” tanpa harus memperhatikan apakah informasi tentang peristiwa itu sudah sempurna atau belum. Peristiwa-peristiwa itu dipaparkan demikian saja tanpa menyebutkan secara utuh meskipun ringkas, apalagi rinci. Setelah itu sejarawan beralih ke “tahun” berikutnya dengan memaparkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun itu, raja-raja dan peninggalannya, dinasti dan perjalanannya, keadaan tertentu, dan peristiwa-peristiwa lain. Dalam hal ini sejarawan juga menuangkan peristiwa itu secara acak, berpindah-pindah dari timur ke barat, dari selatan ke utara, dari keadaan damai ke keadaan peperangan, dan begitu seterusnya. Bagi pembaca yang ingin mengetahui satu peristiwa, maka ia harus membaca dengan teliti paparan yang panjang dengan lelah.
            Walaupun ibn al-Atsir dan Syihab al-Din Ahmad ibn Abd al-Wahhab al-Nuwayri melontar kritikan terhadap corak penulisan hawliyat dan mengajukan cara tematik sebagai alternative, mereka berdua bukan sejarawan pertama dalam Islam yang menggunakan corak penulisan sejarah secara tematik (maudhu’iyyat atau hasb al-maudhu’at). Jauh sebelum mereka, sebagaimana telah disebutkan di atas, al-Ya’qubi (wafat di Mesir pada tahun284/897 H) dan al-Mas’udi (w. 957 M) sudah menggunakan corak tematik itu di dalam karya-karya sejarah mereka.
B. Perkembangan Langgam Bahasa dalam Karya Sejarah
            Kalau dari segi teknik penulisan (at-thariqah), penulisan sejarah terus mengalami perkembangan, dalam bidang langgam bahasa ia juga mengalami perkembangan. Pada mulanya karya-karya sejarah, sebagian besarnya, menghimpun khabar-khabar itu dalam bentuk kalimat-kalimat pendek yang kering, yang tidak berkaitan satu sama lainnya. Dalam perkembangannya, langgam bahasa sejarah menjadibebas, sederhana, jelas, hampir-hampir tidak ada lagi syair di dalamnya.
            Banyak juga yang menggunakan sajak ((kalimat-kalimat yang digunakan di dalam bersajak) dalam tulisan sejarah, meskipun sejarah sama sekali bukan cabang dari susastra yang biasanya menggunakan sajak. Diantara para sejarawan yang terkenal banyak menggunakan sajak dalam karya-karya sejarahnya adalah al-‘Imad al-Ashbahani dan al-Fath ibn Khaqan, seorang sejarawan asal Andalus.
            Ada juga sejarawan muslim yang menggabungkan antara tulisan bebas (prosa) dan kalimat-kalimat bersajak, seperti Abu Marwan Hayyan bin Khalaf asal Andalus. sementara yang lainnya, ada juga yang dalam sejarahnya menggunakan bahasa yang mudah dipahami, sederhana, dengan berusaha menghindari bahasa-bahasa yang dibuat-buat agar enak didengar dan lafal-lafal yang berbelit-belit. Di terpenting adalah jelasnya materi sejarah dengan kalimat-kalimat pendek, yang pengertiannya jelas dan cepat dipahami oleh pembaca.[15]
            Pada masa-masa yang lebih akhir tulisan-tulisan sejarah banyak dirasupi oleh kata-kata asing atau logat-logat daerah tertentu. Pada abad ke-9 dan 10 H, logat-logat daerah semakin banyak ditemui. Di antara sejarawan yang banyak memasukkan kata-kata asing dan logat-logat daerah itu adalah ibn ‘Ilyas (w. 930 H), sejarawan muslim asal Mesir, di dalam karya sejarahnya yang berjudul Bada’I al-Zhuhur fi Bada’I al-Duhur, Abu al-Mahasin ibn Taghri Bardi, juga seorang sejarawan asal Mesir, dalam karya sejarahnya yang berjudul al-Nujum al-Zhahirah fi Muluk Mishr wa al-Qabirah, dan ibn al-Furat di dalam karya sejarahnya yang berjudul Tharikh al-Duwal wa al-Muluk.[16]







PENUTUP
Kesimpulan
Penulisan sejarah dalam karya-karya sejarah mereka dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu corak khabar, corak hawliyat (kronologi berdasarkan tahun), dan corak mawdhu’iyat (tematik).
1)      Khabar
Sejarawan muslim pada mulanya menulis sejarah disandarkan pada riwayat, yang sebagaimana dalam penulisan hadis, dengan menggunakan sanad. Beberapa ciri berkenaan dengan riwayat-riwayat itu. Antara satu riwayat dan riwayat lain tidak ada hubungan, masing-masing berdiri sendiri
d.      Riwayat itu ditulis dalam bentuk cerita (kisah) yang biasanya dalam bentuk dialog.
e.       Riwayat-riwayat itu diselang-selangi dengan syair yang seringkali digunakan sebagai penguat kandungan khabar itu.
2)      Hawliyat
dua metode penulisan, yaitu:
a.Metode penulisan sejarah berdasarkan urutan tahun (al-Tharikh al-Hawli,   atau al-Tharikh ‘ala al-Sinin, atau yang lebih singkat Hawliyat, annalistic form.
b.Metode penulisan sejarah berdasarkan tema (tematik).
Metode hawliyat mengandung kelemahan karena ia memutus kontinuitas sejarah yang panjang yang saling berhubungan, yang berkelanjutan dalam beberapa tahun. Kalau dari segi teknik penulisan (at-thariqah), penulisan sejarah terus mengalami perkembangan, dalam bidang langgam bahasa ia juga mengalami perkembangan. Pada mulanya karya-karya sejarah, sebagian besarnya, menghimpun khabar-khabar itu dalam bentuk kalimat-kalimat pendek yang kering, yang tidak berkaitan satu sama lainnya. Dalam perkembangannya, langgam bahasa sejarah menjadibebas, sederhana, jelas, hampir-hampir tidak ada lagi syair di dalamnya.


DAFTAR PUSTAKA

Kasyif  Sayyidah Ismail. 1976. Mashadir al-Tharikh al-Islam wa-Manahij al- Babts Fih, Kairo: Maktabah al-Khanji.
Ibrahim Hasan. 2001. Tharikh al-Islam Tsaqafiwa a-Ijtima, Jakarta: Kalam Mulia.
Aziz al Abd. 1960.  Al-Bahts fi Nasyi’ahlim al-Tharikh ‘ind al-‘Arab, Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah.
Abdullah,Yusri Abd-Ghani. 2004. Historiografi Islam dari Klasik Hingga Modern, terjadi Mu’jam al Muarrikhin al-Muslimin oleh Sudrajat, Jakarta: Raja Grafindo.
Mukti Ali. 1962. Filsafat Islam TentangSejarah, Jakarta:  Tintamas.















[1] Abd al-Aziz Salim, al-Tharikh wa al-Mu’arrikhun al-‘Arab, (Beurit: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1986), h. 75.
[2] ‘Abd al-Aziz Salim, op.cit, h. 76. Lihat juga al-Mas’udi, Muruj al-Dzahab, Jilid I, (Beurit: Dar al-Fikr, 1973), h. 15.
[3] ‘Abd al-Aziz Salim, Ibid, h. 76.
[4] Abd Aziz Salim, Op. cit. h. 82.
[5] Ibid, h. 85. Tentang riwayat hidup al-Thabari.
[6] Franz Rosenthal, Op. cit, (Leiden: E.J. Brill, 1968), h. 102 dan seterusnya.
[7] Ibid, h. 104.
[8] Ibid, Lampiran 1, h. 174; ‘Abd al-Aziz al-Duri, op. cit, h. 32.
[9] Franz Rosenthal, op. cit, h. 151; ‘Abd al-Aziz Salim, op. cit, h. 88. Baca juga Oeleary, Masalik al-Tsaqafah al-Ighriqiyyah ila al-‘Arab, diterjemahkan Taman Hassan, (Kairo:, 1957), h.3.
[10] Abd al-‘Aziz Salim, op. cit, h. 89. Baca juga Oelery, ibid.
[11] ‘Abd al-Aziz Salim, op. cit, h. 89; Franz Rosenthal, op. cit, h. 112.
[12] Sayyidah Kasyif, op. cit, h. 50.
[13] Abd al-Aziz Salim, op. cit, h. 90. Tentang al-Sirah, al-Thabaqat, dan al-Tarajjim.
[14] Ibid, h. 91
[15] Abd Aziz Salim, loc. Cit.
[16] Nashir al-Din Muhammad ibn Abd al-Rahim ibn al-Furut. Karya sejarahnya ini dikenal dengan nama Tharikh ibn al-Furat, disunting oleh Qasthanthin Zurayq (Beurit: 1938).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar