Senin, 22 Juni 2015

makalah tafsir surat at-tiin

BAB I
PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang
Sebagai seorang muslim yang beragama Islam dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya kita wajib melaksanakan segala yang telah diperintahkan-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dengan mengkaji Al-Qur’an yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Semua surat dalam Al-Qur’an dapat dipastikan memiliki makna dan penafsiran yang sangatlah luas, karena memang Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi sekalian manusia untuk berbekal ke negeri akhirat. Begitu juga dengan surat At-Tiin yang terdapat didalamnya penjelasan tentang manusia, lantas apakah yang telah Allah berikan kepada manusia? Untuk menjawab pertanyaan diatas, surat At-Tiin memberi penjelasan tentang manusia serta penafsirannya menjelaskan fungsi manusia dialam dunia ini.
Banyak penafsiran yang menjelaskan makna dari ayat-ayat surat At-Tiin. Namun pada intinya memiliki maksud yang sama. Maka dari itu penulis ingin menjelaskan pemahaman dari tafsiran Surat At-tiin yang telah ditafsirkan oleh Ulama-ulama dan diabadikan dalam buku-buku dan kitab-kitab pelajaran dan umum.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tafsir Surat At Tiin
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ (1) وَطُورِ سِينِينَ (2) وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ (3) لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (6) فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ (7) أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ (8)
(1) Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.                     
(2) Dan demi Bukit Sinai.
(3) Dan demi kota (Makkah) ini yang aman.
(4) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
(5) Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).
(6) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
(7) Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?
(8) Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
Menurut para ulama Surat At-Tin diturunkan Allah di Makkah setelah Surat al-Buruj.[1] Tema besar surat makkiyah ini ada dua. Pertama, pengangkatan Allah terhadap derajat manusia dengan memuliakannya. Kedua, tema iman dan amal serta balasannya. Itulah yang kelak akan membuktikan bahwa Allah-lah sebijak-bijaknya hakim yang akan menuntaskan dan mengadili semua permasalahan manusia dengan seadil-adilnya.[2]
Dalam surat ini Allah bersumpah dengan beberapa hal.
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ (1)
Pertama,  ”Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun” (QS. 95: 01).
            Sebagian ahli tafsir ada yang mengartikan sumpah pertama ini dengan nama bukit yang ada di Baitul Maqdis, Palestina. Ini pendapat Ikrimah.[3] Sementara Qatadah mengatakan bahwa Tin adalah bukit di Damaskus dan Zaitun adalah nama bukit di Baitul Maqdis[4]. Namun, tidak sedikit yang menyebutkan bahwa yang dimaksud di sini adalah nama dua buah yang sudah dikenal oleh orang Arab juga manusia secara umum yaitu buah Tin yang sangat manis dan buah Zaitun yang pahit namun banyak manfaatnya. Jika yang dimaksud adalah tempat maka bisa konteksnya dengan menambah penafsirannya menjadi bukit atau tempat tumbuhnya kedua buah tersebut. Yaitu di dataran Baitul Maqdis. Gagasan ini seperti disampaikan Syihabuddin al-Alusy dalam tafsirnya.[5]
وَطُورِ سِينِينَ (2)
Kedua, “Dan demi bukit Sinai”. (QS. 95: 02)
            Adapun tempat kedua yang dipakai bersumpah di sini adalah bukit Sinai, yang menurut kebanyakan ahli tafsir dimaknai dengan bukit tempat nabi Musa menerima wahyu yaitu di bukit Sinai, Mesir[6]. Menurut Ikrimah, ”sinîn” berarti baik, yaitu dalam bahasa habasyah (Etiophia).[7]

وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ (3)
Ketiga, “Dan demi kota (Mekkah) ini yang aman.”
Berikutnya Allah bersumpah dengan Al Balad Al Amin, yaitu Makkah.[8] Lalu, mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan hal-hal tersebut? Para ulama tafsir menerangkan sebab-sebabnya yang diantaranya; karena kedua tumbuhan tersebut (At Tin dan Az Zaitun) banyak mengandung manfaat, baik pada pohonnya maupun buahnya, dan karena keduanya sangat tumbuh subur dan baik di Syam, yang merupakan tempat diutusnya Nabi Isa ‘alaihissalam menjadi seorang rasul. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan sebuah bukit, karena di tempat itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepada Nabi Musa dan mengutusnya menjadi seorang rasul.
Adapun mengapa Allah bersumpah dengan Al Balad Al Amin? Itu karena Mekkah adalah sebuah negeri yang aman bagi orang memasukinya, juga karena di tempat itulah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi seorang rasul. dari sini, jelaslah mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan hal-hal tersebut? Itu karena ketiga tempat tersebut adalah tempat-tempat yang disucikan yang Ia pilih, dan telah diutus padanya rasul-rasulNya yang paling mulia.[9]
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4)
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Ayat berikutnya adalah jawaban dari sumpahNya terhadap hal-hal tadi, bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia dalam bentuk dan sifat yang sebaik-baiknya, dengan seluruh anggota tubuh yang seimbang, sempurna, dan tidak kekurangan suatu apapun. Dan semuanya itu menunjukkan atas kekuasaan Allah yang mutlak atas penciptaan dan pengembalian manusia pada hari kebangkitan.[10]
            Allah  swt.  dalam  ayat  ini menegaskan secara eksplisit bahwa manusia itu diciptakan  dalam  bentuk  yang  paling sempurna. Ar-Raghib Al-Asfahani, seorang pakar  bahasa  Al Quran menyebutkan bahwa kata 'taqwiim' pada ayat ini merupakan isarat   tentang   keistimewaan   manusia   dibanding   binatang,  yaitu  dengan dikaruniainya  akal,  pemahaman,  dan  bentuk  fisik  yang tegak dan lurus. Jadi 'ahsani taqwiim' berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya. Kalau  kita  cermati  lebih  jauh,  sesungguhnya kesempurnaan manusia bukan hanya  sekedar pada bentuk fisik dan psikisnya saja, kedudukan manusia di antara makhluk  Allah  lainnya  pun  menempati  peringkat tertinggi, melebihi kedudukan malaikat, "Dan  sesungguhnya  Kami  telah  memuliakan  anak Adam (manusia) dan Kami angkut mereka  di  darat  dan  di laut, dan Kami melebihkan mereka atas makhluk-makhluk yang Kami ciptakan, dengan kelebihan yang menonjol." (Q.S. Al Isra 17:70) Pada  prinsipnya, malaikat adalah makhluk mulia. Namun jika manusia beriman dan  taat  kepada  Allah  swt.,  ia  bisa  melebihi kemuliaan para malaikat.
Ada beberapa   alasan  yang  mendukung  pernyataan  tersebut.  Pertama,  Allah  swt. memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud (hormat) kepada Adam a.s. Saat awal penciptaan  manusia  Allah berfirman, "Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para  Malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia  enggan  dan takabur dan ia adalah termasuk golongan kafir." (Q.S. Al Baqarah 2:34) Kedua,  malaikat  tidak  bisa  menjawab  pertanyaan  Allah  tentang al asma (nama-nama  ilmu  pengetahuan),  sedangkan  Adam a.s. mampu karena memang diberi ilmu  oleh  Allah  swt.,  "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian  mengemukakannya  kepada  para  malaikat,  lalu berfirman, " Sebutkanlah kepada-Ku  nama  benda-benda  itu  jika  kamu memang golongan yang benar. Mereka menjawab,  "Maha  Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau  ajarkan  kepada  kami;  sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha  Bijaksana."  Allah  berfirman,  "Hai  Adam,  beritahukanlah  kepada mereka nama-nama  benda  ini."  Maka  setelah  diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda   itu,   Allah   berfirman,  "Bukankah  sudah  Kukatakan  kepadamu,  bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan." (Q.S. Al Baqarah 2:31-32). Ketiga,  kepatuhan malaikat kepada Allah swt. karena sudah tabiatnya, sebab malaikat  tidak memiliki hawa nafsu; sedangkan kepatuhan manusia pada Allah swt. melalui perjuangan yang berat melawan hawa nafsu dan godaan setan. Keempat,  manusia  diberi  tugas  oleh Allah menjadi khalifah di muka bumi, "Ingatlah  ketika  Tuhanmu  berfirman  kepada  para  malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak  menjadikan seorang khalifah di muka bumi..." (Q.S. Al Baqarah 2:30).
Mencermati  analisis  di  atas,  bisa  disimpulkan  betapa Allah swt. Telah memberikan  kemuliaan yang begitu tinggi pada manusia, bukan hanya yang bersifat fisik  dan  psikis, tapi juga dari segi kedudukannya. Namun, kalau manusia tidak mampu  mengemban amanah yang begitu besar, derajatnya akan turun ke tingkat yang paling  hina,  bahkan  bisa  lebih  hina  dari  binatang  sekalipun, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikutnya.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (6)
Artinya: “Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.  Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”
Pada ayat kelima Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan tentang keadaan kebanyakan manusia yang kufur terhadap nikmat yang telah Ia berikan kepadanya berupa bentuk fisik yang sempurna dan baik. Maka sudah sewajibnya seorang manusia bersyukur atas nikmat ini, namun justru kebanyakan manusia lalai dan lupa terhadap penciptanya yang telah memberikan kenikmatan-kenikmatan yang tak terbilang, mereka sibuk dengan bermain-main dan hal-hal yang melalaikan mereka. Mereka ridha dengan perkara-perkara rendah dan akhlak-akhlak buruk yang merusak diri mereka sendiri. Akhirnya Allah pun mengembalikan mereka ke dalam neraka yang paling bawah, tempatnya ahli maksiat yang membangkang dan menentang perintah-perintah Allah. Kecuali orang orang yang beriman, yang telah diberikan oleh Rabb mereka keutamaan berupa keimanan, amal  yang shalih, dan akhlak yang tinggi dan mulia. Maka bagi mereka derajat yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan pahala dariNya yang tiada henti-hentinya terus mengalir kepada mereka dan tanpa terputus. Bahkan mereka terus mendapatkan kelezatan kelezatan yang terus-menerus, kebahagiaan yang tiada habis-habisnya, dan kenikmatan tak terhingga yang abadi dan kekal selama-lamanya.[11]
Pada ayat berikutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ (7)
“Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?”
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala bertanya dan menegaskan kembali kepada manusia yang telah diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, sempurna dan utuh tanpa kekurangan suatu apapun, namun di antara manusia masih ada yang kufur terhadap nikmat nikmat Rabbnya dan ingkar terhadap hari pembalasan,”Apa yang membuatmu dan menyebabkanmu wahai anak Adam mendustakan dan mengingkari hari pembalasan terhadap seluruh amal perbuatan, padahal kamu telah mengetahui kekuasaan Rabbmu yang mampu menciptakanmu dengan baik dan sempurna? Bukankah Ia yang telah menciptakanmu jauh lebih mampu untuk menghidupkanmu kembali dan membalas amal-amalmu? Apa yang membuatmu mendustakan semua ini sedangkan kamu mengetahui kebenarannya?[12]
Dan di akhir surat At-Tiin ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ (8)
Artinya: “Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?”
Allah Subhanahu wa Ta’ala kembali bertanya dalam ayat ini yang maknanya, “Apakah adil dan sesuai dengan hikmah-Nya jika Ia menciptakan makhlukNya untuk kemudian dibiarkan dan ditinggalkan begitu saja tanpa diperintah dan dilarang, dan tanpa diberikan balasan baik ataupun buruk? Ataukah sesuai keadilan dan hikmahNya itu, jika Ia Yang Maha Pencipta dengan tahapan demi tahapan penciptaan, kemudian Ia memberikan seluruh nikmat-nikmatNya yang tiada terbilang, lalu membimbing mereka dengan bimbingan yang baik dan bijaksana, dan akhirnya Ia mengembalikan mereka kepada tujuan dan inti kehidupan mereka, yaitu akhirat yang kepadanyalah  orang-orang beriman menuju?”[13]
Ada sebuah hadits yang erat kaitannya dengan ayat terakhir ini. Yang mungkin hadits ini dijadikan hujjah oleh sebagian mereka yang beranggapan akan sunnahnya hukum membaca lafazh (بَلَى، وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ), atau lafazh (سُبْحَانَكَ فَبَلَى) tatkala seseorang membaca surat At Tiin ini sampai pada penghujung ayatnya.
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, Ahmad, dan lain-lainnya dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , beliau berkata:[14]
مَنْ قَرَأَ : وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِ  ، فَقَرَأَ : أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ ، فَلْيَقُلْ : بَلَى ، وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ .
“Barangsiapa yang membaca Wat tiini waz Zaituun sampai ia membaca ‘Alaisallaahu bi Ahkamil Haakimiin’ ; maka hendaknya ia mengucapkan: ‘Balaa Wa Ana ‘Alaa Dzaalika minasy Syaahidiin’ (Ya, dan aku atas hal itu termasuk orang-orang yang bersaksi).”
Namun hadits ini dha’if, sebagaimana yang telah dihukumi oleh Asy Syaikh Al Albani,[15] disebabkan pada sanadnya terdapat perawi (dan ia bukan seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan                                             
        Pada makalah yang telah saya tulis yang berjudul Tafsir Surah At-Tin maka dapat disimpulkan bahwa pada surah At-tin Allah Swt. Telah memberikan  kemuliaan yang begitu tinggi pada manusia, bukan hanya yang bersifat fisik  dan  psikis, tapi juga dari segi kedudukannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 2001. Tafsir Karim Ar Rahman fi Tafsiri Kalami Al Mannan. Daar  As Salam.
Al-Alusy, Syihabuddin. 1997. Ruhul Maani. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Baghawy. 2004. Ma’alim at-Tanzil. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 1986. Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar  Ali Shabuni.
As-Suyuthi, Jalaluddin. 2004. al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub    al-Ilmiah.
Ath-Thabary, Ibnu Jarir. 2001. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an. Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Araby.
Dha’if Sunan Abi Daud, Muhammad Nashiruddin Al Albani (1332-1420 H).
Ismail, Abul Fida’. 2002. Tafsir Ibnu Katsir (Tasir Al Qur’an Al ‘Azhim). Riyadh:  Daar Ath Thayyibah.  



[1] Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hlm.20-21
[2] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali Shabuni, 1986 M-1406 H, hlm. 303
[3] Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M-1424 H, Vol.IV, hlm.  472
[4] Syihabuddin al-Alusy, Ruhul Maani, Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M-1417 H, Vol. 30, hlm. 311
[5] Ibid.
[6] Seperti dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra. (Ibnu Jarir ath-Thabary, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an, tahqiq: Mahmud Syakir, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Araby, Cet.I, 2001 M-1421 H, Vol. 30, hlm. 291)
[7] Ibid, hlm. 292
[8] Al Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam tafsirnya (8/434): “Ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Al Hasan, Ibrahim An Nakha’i, Ibnu Zaid, dan Ka’ab Al Ahbaar. Dan tidak ada khilaf padanya.”
[9]  Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim (8/434-435) dan Tafsir Al Karim Ar Rahman (2/1180)
[10] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim (8/435)
[11] Tafsir Al Karim Ar Rahman (2/1181).
[12] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim (8/435) dan Taisir Al Karim Ar Rahman (2/1181).
[13] Tafsir Al Karim Ar Rahman (2/1181).
[14] Sunan Abi Dawud (1/234 no. 887), Jami’ At Tirmidzi (5/443 no. 3347), Musnad Al Imam Ahmad (2/249 no.   7385)
[15] Dha’if Sunan Abi Dawud, Dha’if Sunan At Tirmidzi, Dha’if Al Jami’ (5784), Tamaam Al Minnah (hal. 186), dan kitab beliau yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar