BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai seorang muslim yang beragama
Islam dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya kita wajib melaksanakan segala yang
telah diperintahkan-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dengan mengkaji
Al-Qur’an yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Semua surat dalam Al-Qur’an dapat
dipastikan memiliki makna dan penafsiran yang sangatlah luas, karena memang
Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi sekalian manusia untuk berbekal ke negeri akhirat.
Begitu juga dengan surat At-Tiin yang terdapat didalamnya penjelasan tentang
manusia, lantas apakah yang telah Allah berikan kepada manusia? Untuk menjawab
pertanyaan diatas, surat At-Tiin memberi penjelasan tentang manusia serta
penafsirannya menjelaskan fungsi manusia dialam dunia ini.
Banyak penafsiran yang menjelaskan
makna dari ayat-ayat surat At-Tiin. Namun pada intinya memiliki maksud yang
sama. Maka dari itu penulis ingin menjelaskan pemahaman dari tafsiran Surat
At-tiin yang telah ditafsirkan oleh Ulama-ulama dan diabadikan dalam buku-buku
dan kitab-kitab pelajaran dan umum.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Tafsir Surat At Tiin
بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
وَالتِّينِ
وَالزَّيْتُونِ (1) وَطُورِ سِينِينَ (2) وَهَذَا
الْبَلَدِ الْأَمِينِ (3) لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ
تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (6) فَمَا
يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ (7) أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ (8)
(1)
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.
(2) Dan demi Bukit Sinai.
(3) Dan demi kota (Makkah) ini yang aman.
(4) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
(5) Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).
(6) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
(7) Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?
(8) Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
(2) Dan demi Bukit Sinai.
(3) Dan demi kota (Makkah) ini yang aman.
(4) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
(5) Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).
(6) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
(7) Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?
(8) Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
Menurut para ulama Surat At-Tin
diturunkan Allah di Makkah setelah Surat al-Buruj.[1]
Tema besar surat makkiyah ini ada dua. Pertama, pengangkatan Allah
terhadap derajat manusia dengan memuliakannya. Kedua, tema iman dan amal serta
balasannya. Itulah yang kelak akan membuktikan bahwa Allah-lah sebijak-bijaknya
hakim yang akan menuntaskan dan mengadili semua permasalahan manusia dengan
seadil-adilnya.[2]
Dalam surat ini Allah bersumpah dengan beberapa hal.
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ (1)
Pertama,
”Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun” (QS. 95: 01).
Sebagian ahli tafsir ada yang mengartikan sumpah pertama ini dengan nama bukit
yang ada di Baitul Maqdis, Palestina. Ini pendapat Ikrimah.[3]
Sementara Qatadah mengatakan bahwa Tin adalah bukit di Damaskus dan Zaitun
adalah nama bukit di Baitul Maqdis[4].
Namun, tidak sedikit yang menyebutkan bahwa yang dimaksud di sini adalah nama
dua buah yang sudah dikenal oleh orang Arab juga manusia secara umum yaitu buah
Tin yang sangat manis dan buah Zaitun yang pahit namun banyak manfaatnya. Jika
yang dimaksud adalah tempat maka bisa konteksnya dengan menambah penafsirannya
menjadi bukit atau tempat tumbuhnya kedua buah tersebut. Yaitu di dataran
Baitul Maqdis. Gagasan ini seperti disampaikan Syihabuddin al-Alusy dalam
tafsirnya.[5]
وَطُورِ سِينِينَ (2)
Kedua, “Dan demi bukit Sinai”. (QS. 95: 02)
Adapun tempat kedua yang dipakai bersumpah di sini adalah bukit Sinai, yang
menurut kebanyakan ahli tafsir dimaknai dengan bukit tempat nabi Musa menerima
wahyu yaitu di bukit Sinai, Mesir[6].
Menurut Ikrimah, ”sinîn” berarti baik, yaitu dalam bahasa habasyah (Etiophia).[7]
وَهَذَا
الْبَلَدِ الْأَمِينِ (3)
Ketiga, “Dan demi kota (Mekkah) ini yang aman.”
Berikutnya Allah bersumpah dengan Al
Balad Al Amin, yaitu Makkah.[8]
Lalu, mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan hal-hal
tersebut? Para ulama tafsir menerangkan sebab-sebabnya yang diantaranya; karena
kedua tumbuhan tersebut (At Tin dan Az Zaitun) banyak mengandung
manfaat, baik pada pohonnya maupun buahnya, dan karena keduanya sangat tumbuh
subur dan baik di Syam, yang merupakan tempat diutusnya Nabi Isa ‘alaihissalam
menjadi seorang rasul. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah
dengan sebuah bukit, karena di tempat itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala
berbicara kepada Nabi Musa dan mengutusnya menjadi seorang rasul.
Adapun mengapa Allah bersumpah
dengan Al Balad Al Amin? Itu karena Mekkah adalah sebuah negeri yang
aman bagi orang memasukinya, juga karena di tempat itulah Rasulullah Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam diutus menjadi seorang rasul. dari sini, jelaslah mengapa
Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan hal-hal tersebut? Itu karena
ketiga tempat tersebut adalah tempat-tempat yang disucikan yang Ia pilih, dan
telah diutus padanya rasul-rasulNya yang paling mulia.[9]
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي
أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4)
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Ayat berikutnya adalah jawaban dari
sumpahNya terhadap hal-hal tadi, bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menciptakan manusia dalam bentuk dan sifat yang
sebaik-baiknya, dengan seluruh anggota tubuh yang seimbang, sempurna, dan tidak
kekurangan suatu apapun. Dan semuanya itu menunjukkan atas kekuasaan Allah yang
mutlak atas penciptaan dan pengembalian manusia pada hari kebangkitan.[10]
Allah swt.
dalam ayat ini menegaskan secara eksplisit bahwa manusia
itu diciptakan dalam bentuk
yang paling sempurna. Ar-Raghib
Al-Asfahani, seorang pakar bahasa Al Quran menyebutkan bahwa kata 'taqwiim'
pada ayat ini merupakan isarat
tentang keistimewaan manusia
dibanding binatang, yaitu dengan
dikaruniainya akal, pemahaman,
dan bentuk fisik
yang tegak dan lurus. Jadi 'ahsani taqwiim' berarti bentuk fisik dan
psikis yang sebaik-baiknya. Kalau
kita cermati lebih
jauh, sesungguhnya kesempurnaan
manusia bukan hanya sekedar pada bentuk
fisik dan psikisnya saja, kedudukan manusia di antara makhluk Allah
lainnya pun menempati
peringkat tertinggi, melebihi kedudukan malaikat, "Dan sesungguhnya Kami
telah memuliakan anak Adam (manusia) dan Kami angkut
mereka di darat
dan di laut, dan Kami melebihkan
mereka atas makhluk-makhluk yang Kami ciptakan, dengan kelebihan yang
menonjol." (Q.S. Al Isra 17:70) Pada
prinsipnya, malaikat adalah makhluk mulia. Namun jika manusia beriman
dan taat
kepada Allah swt.,
ia bisa melebihi kemuliaan para malaikat.
Ada beberapa alasan
yang mendukung pernyataan
tersebut. Pertama, Allah
swt. memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud (hormat) kepada Adam
a.s. Saat awal penciptaan manusia Allah berfirman, "Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, "Sujudlah kamu kepada
Adam", maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan
dan takabur dan ia adalah termasuk golongan kafir." (Q.S. Al
Baqarah 2:34) Kedua, malaikat tidak
bisa menjawab pertanyaan
Allah tentang al asma
(nama-nama ilmu pengetahuan),
sedangkan Adam a.s. mampu karena
memang diberi ilmu oleh Allah
swt., "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada
para malaikat, lalu berfirman, " Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika
kamu memang golongan yang benar. Mereka menjawab, "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui
selain apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." Allah
berfirman, "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda
ini." Maka setelah
diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu,
Allah berfirman, "Bukankah sudah
Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia
langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu
sembunyikan." (Q.S. Al Baqarah 2:31-32). Ketiga, kepatuhan malaikat kepada Allah swt. karena
sudah tabiatnya, sebab malaikat tidak
memiliki hawa nafsu; sedangkan kepatuhan manusia pada Allah swt. melalui
perjuangan yang berat melawan hawa nafsu dan godaan setan. Keempat, manusia
diberi tugas oleh Allah menjadi khalifah di muka bumi,
"Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para
malaikat, "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi..." (Q.S. Al Baqarah 2:30).
Mencermati analisis
di atas, bisa
disimpulkan betapa Allah swt.
Telah memberikan kemuliaan yang begitu
tinggi pada manusia, bukan hanya yang bersifat fisik dan
psikis, tapi juga dari segi kedudukannya. Namun, kalau manusia tidak
mampu mengemban amanah yang begitu
besar, derajatnya akan turun ke tingkat yang paling hina,
bahkan bisa lebih
hina dari binatang
sekalipun, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikutnya.
Kemudian Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
ثُمَّ
رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (6)
Artinya: “Kemudian Kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal shalih, maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya”
Pada ayat kelima Allah Subhanahu
wa Ta’ala menerangkan tentang keadaan kebanyakan manusia yang kufur terhadap
nikmat yang telah Ia berikan kepadanya berupa bentuk fisik yang sempurna dan
baik. Maka sudah sewajibnya seorang manusia bersyukur atas nikmat ini, namun
justru kebanyakan manusia lalai dan lupa terhadap penciptanya yang telah
memberikan kenikmatan-kenikmatan yang tak terbilang, mereka sibuk dengan
bermain-main dan hal-hal yang melalaikan mereka. Mereka ridha dengan
perkara-perkara rendah dan akhlak-akhlak buruk yang merusak diri mereka
sendiri. Akhirnya Allah pun mengembalikan mereka ke dalam neraka yang paling
bawah, tempatnya ahli maksiat yang membangkang dan menentang perintah-perintah
Allah. Kecuali orang orang yang beriman, yang telah diberikan oleh Rabb mereka
keutamaan berupa keimanan, amal yang shalih, dan akhlak yang
tinggi dan mulia. Maka bagi mereka derajat yang tinggi di sisi Allah Subhanahu
wa Ta’ala, dan pahala dariNya yang tiada henti-hentinya terus mengalir
kepada mereka dan tanpa terputus. Bahkan mereka terus mendapatkan kelezatan
kelezatan yang terus-menerus, kebahagiaan yang tiada habis-habisnya, dan
kenikmatan tak terhingga yang abadi dan kekal selama-lamanya.[11]
Pada ayat berikutnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
فَمَا
يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ (7)
“Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari)
pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?”
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa
Ta’ala bertanya dan menegaskan kembali kepada manusia yang telah diciptakan
dalam sebaik-baik bentuk, sempurna dan utuh tanpa kekurangan suatu apapun,
namun di antara manusia masih ada yang kufur terhadap nikmat nikmat Rabbnya
dan ingkar terhadap hari pembalasan,”Apa yang membuatmu dan menyebabkanmu wahai
anak Adam mendustakan dan mengingkari hari pembalasan terhadap seluruh amal
perbuatan, padahal kamu telah mengetahui kekuasaan Rabbmu yang mampu
menciptakanmu dengan baik dan sempurna? Bukankah Ia yang telah menciptakanmu
jauh lebih mampu untuk menghidupkanmu kembali dan membalas amal-amalmu? Apa
yang membuatmu mendustakan semua ini sedangkan kamu mengetahui kebenarannya?[12]
Dan di akhir surat At-Tiin ini Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَلَيْسَ
اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ (8)
Artinya: “Bukankah Allah
Hakim yang seadil-adilnya?”
Allah Subhanahu wa Ta’ala
kembali bertanya dalam ayat ini yang maknanya, “Apakah adil dan sesuai dengan
hikmah-Nya jika Ia menciptakan makhlukNya untuk kemudian dibiarkan dan
ditinggalkan begitu saja tanpa diperintah dan dilarang, dan tanpa diberikan
balasan baik ataupun buruk? Ataukah sesuai keadilan dan hikmahNya itu, jika Ia
Yang Maha Pencipta dengan tahapan demi tahapan penciptaan, kemudian Ia
memberikan seluruh nikmat-nikmatNya yang tiada terbilang, lalu membimbing
mereka dengan bimbingan yang baik dan bijaksana, dan akhirnya Ia mengembalikan
mereka kepada tujuan dan inti kehidupan mereka, yaitu akhirat yang
kepadanyalah orang-orang beriman menuju?”[13]
Ada sebuah hadits yang erat
kaitannya dengan ayat terakhir ini. Yang mungkin hadits ini dijadikan hujjah
oleh sebagian mereka yang beranggapan akan sunnahnya hukum membaca
lafazh (بَلَى، وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ), atau
lafazh (سُبْحَانَكَ فَبَلَى) tatkala seseorang membaca surat At
Tiin ini sampai pada penghujung ayatnya.
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu
Dawud, At Tirmidzi, Ahmad, dan lain-lainnya dari
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , beliau berkata:[14]
مَنْ قَرَأَ
: وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِ ، فَقَرَأَ : أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ
الْحَاكِمِيْنَ ، فَلْيَقُلْ : بَلَى ، وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ
.
“Barangsiapa yang membaca ‘Wat tiini waz Zaituun’ sampai
ia membaca ‘Alaisallaahu bi Ahkamil
Haakimiin’ ; maka hendaknya ia mengucapkan: ‘Balaa Wa Ana ‘Alaa Dzaalika minasy Syaahidiin’ (Ya, dan aku atas
hal itu termasuk orang-orang yang bersaksi).”
Namun hadits ini dha’if,
sebagaimana yang telah dihukumi oleh Asy Syaikh Al Albani,[15]
disebabkan pada sanadnya terdapat perawi (dan ia bukan seorang sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada makalah yang
telah saya tulis yang berjudul Tafsir Surah At-Tin maka dapat disimpulkan bahwa
pada surah At-tin Allah Swt. Telah memberikan kemuliaan yang begitu tinggi pada manusia,
bukan hanya yang bersifat fisik dan psikis, tapi juga dari segi kedudukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2001. Tafsir Karim Ar Rahman fi
Tafsiri Kalami Al Mannan. Daar As
Salam.
Al-Alusy, Syihabuddin. 1997. Ruhul Maani.
Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Baghawy.
2004. Ma’alim at-Tanzil. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah.
Ash-Shabuni,
Muhammad Ali. 1986. Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali Shabuni.
As-Suyuthi, Jalaluddin.
2004. al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah.
Ath-Thabary,
Ibnu Jarir. 2001. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an. Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Araby.
Dha’if Sunan Abi Daud,
Muhammad Nashiruddin Al Albani (1332-1420 H).
Ismail, Abul
Fida’. 2002. Tafsir Ibnu Katsir (Tasir Al Qur’an Al ‘Azhim). Riyadh: Daar Ath Thayyibah.
[1] Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul
Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hlm.20-21
[2] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo:
Dar Ali Shabuni, 1986 M-1406 H, hlm. 303
[3] Al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil,
Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M-1424 H, Vol.IV, hlm. 472
[6] Seperti dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra. (Ibnu Jarir ath-Thabary, Jami’
al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an, tahqiq: Mahmud Syakir, Beirut: Dar Ihya
at-Turats al-Araby, Cet.I, 2001 M-1421 H, Vol. 30, hlm. 291)
[8] Al Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam tafsirnya (8/434): “Ini dikatakan
oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Al Hasan, Ibrahim An Nakha’i, Ibnu Zaid, dan
Ka’ab Al Ahbaar. Dan tidak ada khilaf padanya.”
[10] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim
(8/435)
[11] Tafsir Al Karim Ar Rahman
(2/1181).
[13] Tafsir Al Karim Ar Rahman
(2/1181).
[14] Sunan Abi Dawud (1/234 no. 887),
Jami’ At Tirmidzi (5/443 no. 3347), Musnad Al Imam Ahmad (2/249 no. 7385)
[15] Dha’if Sunan Abi Dawud, Dha’if
Sunan At Tirmidzi, Dha’if Al Jami’ (5784), Tamaam Al Minnah (hal. 186), dan
kitab beliau yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar